PENDAHULUAN
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang
membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia
merupakan makhluk-Nya yang paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang
dilengkapi dengan akal fikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi misalnya melukiskan
hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tak ada makhluk Allah yang lebih
bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak,
berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan.
Dalam
Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan mengenai penciptaan manusia, beberapa di
antaranya: Al-Qur’an: surat Al-Mukminum: 12-14, surat AL-Hajj ayat 5, surat Shad ayat 71, dan juga hadist H.R.
Bukhori. Dan selengkapnya akan kami jelaskan dalam makalah ini.
Setidaknya
ada empat kata yang di gunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia,
namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Kesemuanya itu
akan kami jelaskan dalam makalah ini. Selain itu kami juga akan menjelaskan
mengenai manusia dalam pandangan filsafat, dan juga kedudukan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Penciptaan Manusia
Banyak firman Allah SWT yang menerangkan
mengenai penciptaan manusia. Di bawah ini akan dikutipkan sebuah ayat suci
Al-Qur’an dan sebuah hadist Nabi Muhammad SAW yang menguraikan tentang proses
kejadian manusia.
Dalam Al-Qur’an Tuhan berfirman:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ. ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي
قَرَارٍ مَكِينٍ. ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ
مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ
أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ.
(المؤمنون : 12-14)
Artinya:
Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari
sari tanah. Kemudian kami jadikan sari tanah itu air mani (terletak) dalam
tempat simpanan yang teguh (rahim). Kemudian dari air mani itu kami ciptakan
segumpal darah lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan dari
daging segumpal itu kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu
kami tutup (balut) dengan daging. Sesudah itu kami jadikan dia makhluk yang
baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha berkat (suci Allah) pencipta yang
paling baik. (Al-Qur’an: surat Al-Mukminum: 12-14).
Kemudian
nabi Muhammad SAW, mengulas ayat tersebut dengan sabdahnya:
قال ان احدكم يجمع خلقه فى بطن امه اربعين يوما
ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يبعث الله ملكا ويؤمر باربع كلمات
ويقال له اكتب عمله ورزقه واجله وشقي او سعيد تم ينفح فيه الروح. (رواه البخاري)
Artinya:
Bahwasannya seseorang kamu dihimpunkan di
dalam perut ibu selama 40 hari, kemudian merupakan alaqah (segumpal darah )
seumpama demikian (selama 40 hari), kemudian merupakan mudgatan (segumpal
daging) seumpama demikian (selama 40 hari). Kemudian Allah mengutus seorang
malaikat, maka diperintahkan kepadanya (malaikat) empat perkataan dan dikatakan
kepada malaikat engkau tuliskanlah amalannya, dan rezekinya dan ajalnya, dan
celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkanlah kepada makhluk itu ruh….. (HR.
Bukhari).[1]
Selain itu juga di jelaskan dalam firman Allah
SWT di dalam surat AL-Hajj ayat 5 di firmankanya bahwa:
فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ
مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ (الحج : 5)
Artinya:
Sesungguhnya kami telah
menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, menjadi segumpal
darah, menjadi segumpa daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk,
untuk kami perlihatkan kekuasaan tuhanmu.
Firman tersebut menjelaskan pada manusia
tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang
diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan dari satu bagian
tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia berikutnya diciptakan melalui perantaraan
seorang ibu dan seorang ayah, yang dimulai dari setetes air mani (spermatozoid)
yang dipertemukan dengan sel telur (ovum) di dalam rahim. Di antara sangat
banyak yang diciptakan ALLAH SWT sebagai tanda Ke-Maha KuasaanNya, hanya Nabi
Isa AS yang bersifat istimewa karena di ciptakan tanpa melalui seorang ayah.
Keadaan sepert itu tidaklah berarti ALLAH SWT yang menjadi ayahnya, karena
dengan Ke-Maha Kuasaanya cukuplah dengan mengatakan “kun fa ya kun” maka
jadilah apa yang di kehendakinya.
Firman di atas juga meriwayatkan bagaimana
proses manusia itu diciptakan di dalam rahim seorang ibu. Proses itu dialami
oleh semua manusia, termasuk Nabi Isa As.
Berikutnya
di dalam surat Shad ayat 71 di samping firman-firman lainnya, diulangi lagi
menjelaskan tentang asal muasal penciptaan manusia, yang mengatakan:
إِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ. فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ. (ص : 71-72)
Artinya:
Ingatlah ketika Allah berkata kepada para
malaika: “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah.”
Apabila telah aku sempurnakan kejadiannya dan aku tiupkan sebagian ruhku
padanya, maka hendaklah kamu tunduk dan bersujud kepadanya.
Firman tersebut ternyata di samping menerangkan tentang asal
kejadian manusia, telah melengkapi lagi penjelasan bahwa penciptaan itu diberi
bentuk berupa tubuh (jasmani) yang bersifat kongkrit, juga di sertai pemberian
sebagian ruh ciptaan Allah SWT. Yang bersifat abstrak bersamaan dengan itu
dinyatakan pula adanya makhuk ciptaan lainnya yang disebut malaikat, yang
bersifat ghaib yang diciptakan lebih dahulu, namun manusia diciptakan lebih
mulia, sehingga para malaikat diperintahkan tunduk dan bersujud sebagai
penghormatan kepadanya. [2]
B. Manusia Menurut Pandangan Filsafat Dan
Pandangan Islam
a.
Manusia Menurut Filsafat
Berbicara
tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam
perfektif manusia:
1.
Manusia
adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para
filosof.
2.
Manusia sebagai animal simbolik adalah
pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui
simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut.
3.
Manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia
adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia
memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk
alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia
berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam
sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya.
4.
Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens,
manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain.
5.
Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal
tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan
menciptakannya.
6.
Manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk
yang senang bermain).
Marx menunjukan perbedaan antara manusia
dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan
hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan
kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung
bagi dirinya dan keturunnya, sedangkan manusia berproduksi
secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru berproduksi dari yang sesungguhnya dalam
kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan
binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia
berproduksi menurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek
yang inheren (melekat di dalam diri manusia), dikarenakan
manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara
bebas dan universal, dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung,
universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama.
Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah
satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik (keindahan) dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang
adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.[3]
b.
Manusia Menurut Islam
Islam
berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara
badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri
sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas
mengatakan bahwa kedua substansi (substansi = unsur asal sesuatu yang ada)
dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya
juga makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT.[4]
Setidaknya
ada 3 kata yang di gunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan meskipun ketiga kata
tersebut menunjukkan pada makna manusia, perbedaan tersebut dapat dilihat pada
uraian berikut.
a.
Kata Al-Basyar
Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau
tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna
bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulinya, di banding
rambut atau bulunya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia
dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut.
Makna etimologis dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk
yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum,
seks, keamanan, kebahagiaan dan lain sebagainya.
b.
Kata Al-Insan
Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah
lembut, tampak, atau pelupa.
Kata al-insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas
manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut
dengan berbagai potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk
Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual
antara satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu
menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaduan antara aspek pisik dan psikis telah membantu manusia
untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk
berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu
pengetahuan dan peradapan, dan lain sebagainya.
c.
Kata al-Nas
Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk
sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.
Dalam menunjuk makna manusia, kata al-Nas lebih bersifat umum
bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumuman tersebut dapat dilihat dari
penekanan makna yang dikandungnya, Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk
sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering
melakukan mafiadah dan merupakan pengisi neraka, di samping iblis.
Kata al-Nas dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an untuk
menunjukkan bahwa sebagian besar manusia tidak memiliki ketetapan keimanan yang
kuat. Kadangkala ia beriman, sementara pada waktu yang lain ia munafik. Hal ini
dinyatakan Allah dalam QS. Al-baqoroh/2:8, 13, 44 dan 83. Adapun secara umum,
penggunaan kata al-nas memiliki arti peringatan Allah kepada manusia
akan semua tindakannya, seperti: jangan bersifat kikir dan ingkar nikmat (QS.
An-Nisaa’ /4:37), riya (QS. An Nisaa’/4:38), larangan berbuat zalim (QS.
Al-araaf/7:85), mengingatkan manusia akan adanya hukuman dari kaum yahudi dan musyrik, dan lain-lain.
d.
Kata Bani Adam
Secara etimologi, kata bani adam menunjukkan arti pada
keturunan bani adam A.S.
Menurut al-Thabathaba’i
penggunaan kata bani adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal
ini, setidaknya ada tiga aspek yang di kaji:
1.
Anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di
antaranya adalah dengan berpakian guna menutupi auratnya.
2.
Mengingatkan pada keturunan adam agar jangan terjerumus
pada bujuk rayu syaitan yang mengajak pada keingkaran.
3.
Memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka
ibadah dan mentauhidkan-Nya. Kesemua itu merupakan anjuran sekaligus peringatan
Allah, dalam rangka memuliakan keturunan adam di banding makhluk-Nya yang lain.
Bila di lihat pandangan musafir di atas, terlihat bahwa pemaknaan
kata bani adam, lebih di tekankan pada aspek amaliah manusia.
C.
Kedudukan Manusia
Kesatuan
wujud manusia antara pisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang
ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan menempatkan
manusia pada posisi yang strategis yaitu:
1.
Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd
Allah)
Musa
Asy’arie mengatakan bahwa esensi abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan
yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan
pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum
Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari
setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah,
manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah
(potensi) untuk beragama. Mulai dari manusia purba sampai kepada manusia modern
sekarang yang mengakui bahwa diluar dirinya ada kekuasaan transendental.
Hal
ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk
beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba, manusia mengasumsikannya
lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme. Meskipun dengan
pikiran dan kondisi yang cukup sederharna.
2. Manusia
sebagai khalifah Allah fi al-ardh
Kedudukan
manusia di alam raya sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat
tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam
melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraisy shihab, mengatakan bahwa hubungan
antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan
merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan
hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Sebab,
meskipun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat
kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
Oleh karena itu, manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar
menggantikan, namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti
perintah yang digantikan (Allah).
Untuk
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia
seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs. Namun demikian,
aktualisasi fitrah tersebut tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung
pada manusia itu sendiri mengembangkannya.
D. Implikasi
Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Islam
Para
ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan
Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan
diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan.
Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba. Bahkan menurut
Ali Ashraf, pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih
dahulu memahami Islam tentang pengembangan individu seutuhnya.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan
tentang filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaanya dalam alam semesta.
Dari uraian tersebut, paling tidak ada 2 (dua) implikasi terpenting dalam
hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
1.
Karena manusia adalah makhluk
yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi
itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan
pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa sistem
pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara
pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia yang pintar
secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah
atau dipisahkan dalam proses kependidikan Islam, maka manusia akan kehilangan
keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna.
2.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa
fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan abd. Untuk
melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi.
Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditunjukan
ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga
dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam kedua hal diatas’ harus menjadi
acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam masa
kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya
sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan
merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya
dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal ini, maka pendidikan Islam di
jadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan
dan budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Dalam konteks
ini difahami bahwa posisi manusia sebagai Khalifah dan abd menghendaki program
pendidikan yang menawarkan sepenuhnya peguasaan ilmu pengetahuan secara
totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai subtansi dan
aspek abd’. Sementara itu, keberadaan manusia sebagai resultan dari dua
komponen (materi dan immateri) menghendaki pula program pendidikan yang
sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium, yaitu integrasi yang utuh antara
pendidikan aqliyah dan qalbiyah.[5]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Proses Penciptaan Manusia
Proses penciptaan manusia
akan kami jelaskan menggunakan ayat Al-Qur’an yang artinya: Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari
sari tanah. Kemudian kami jadikan sari tanah itu air mani (terletak) dalam
tempat simpanan yang teguh (rahim). Kemudian dari air mani itu kami ciptakan
segumpal darah lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan dari
daging segumpal itu kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu
kami tutup (balut) dengan daging. Sesudah itu kami jadikan dia makhluk yang
baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha berkat (suci Allah) pencipta yang
paling baik. (Al-Qur’an: surat Al-Mukminum: 12-14).
B. Manusia Menurut Pandangan Filsafat Dan
Pandangan Islam
1. Manusia Menurut Filsafat
a.
Manusia adalah hewan rasional (animal rasional).
b.
Manusia sebagai animal simbolik.
c.
Manusia adalah sebagai homo feber.
d.
Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens.
e.
Manusai dikatakan sebagai homo faber hal.
f.
Manusia juga disebut sebagai homo ludens.
2. Manusia Menurut Islam
Ada 4 kata
yang di gunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan makna manusia
a.
Kata Al-Basyar
b.
Kata Al-Insan
c.
Kata al-Nas
d.
Kata al-Adam
C. Kedudukan Manusia
a. Manusia
Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
b. Manusia
sebagai khalifah Allah fi al-ardh
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem
Pendidikan Dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.
48.
0 komentar:
Posting Komentar