Kamis, 25 Desember 2014

Manusia Menurut Islam

 Filsafat Pendidikan Islam
PENDAHULUAN


            Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya yang paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan.
            Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan mengenai penciptaan manusia, beberapa di antaranya:  Al-Qur’an: surat Al-Mukminum: 12-14, surat AL-Hajj ayat 5, surat Shad ayat 71, dan juga hadist H.R. Bukhori. Dan selengkapnya akan kami jelaskan dalam makalah ini.
            Setidaknya ada empat kata yang di gunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Kesemuanya itu akan kami jelaskan dalam makalah ini. Selain itu kami juga akan menjelaskan mengenai manusia dalam pandangan filsafat, dan juga kedudukan manusia.
             
           









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Penciptaan Manusia
      Banyak firman Allah SWT yang menerangkan mengenai penciptaan manusia. Di bawah ini akan dikutipkan sebuah ayat suci Al-Qur’an dan sebuah hadist Nabi Muhammad SAW yang menguraikan tentang proses kejadian manusia.
Dalam Al-Qur’an Tuhan berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ. ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ. ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ. (المؤمنون : 12-14)

Artinya:    
      Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari sari tanah. Kemudian kami jadikan sari tanah itu air mani (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh (rahim). Kemudian dari air mani itu kami ciptakan segumpal darah lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan dari daging segumpal itu kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu kami tutup (balut) dengan daging. Sesudah itu kami jadikan dia makhluk yang baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha berkat (suci Allah) pencipta yang paling baik. (Al-Qur’an: surat Al-Mukminum: 12-14).

      Kemudian nabi Muhammad SAW, mengulas ayat tersebut dengan sabdahnya:
قال ان احدكم يجمع خلقه فى بطن امه اربعين يوما ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يبعث الله ملكا ويؤمر باربع كلمات ويقال له اكتب عمله ورزقه واجله وشقي او سعيد تم ينفح فيه الروح. (رواه البخاري)


Artinya:
      Bahwasannya seseorang kamu dihimpunkan di dalam perut ibu selama 40 hari, kemudian merupakan alaqah (segumpal darah ) seumpama demikian (selama 40 hari), kemudian merupakan mudgatan (segumpal daging) seumpama demikian (selama 40 hari). Kemudian Allah mengutus seorang malaikat, maka diperintahkan kepadanya (malaikat) empat perkataan dan dikatakan kepada malaikat engkau tuliskanlah amalannya, dan rezekinya dan ajalnya, dan celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkanlah kepada makhluk itu ruh….. (HR. Bukhari).[1]

      Selain itu juga di jelaskan dalam firman Allah SWT di dalam surat AL-Hajj ayat 5 di firmankanya bahwa:
فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ (الحج : 5)

Artinya:
      Sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, menjadi segumpal darah, menjadi segumpa daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk kami perlihatkan kekuasaan tuhanmu.

      Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia berikutnya diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan seorang ayah, yang dimulai dari setetes air mani (spermatozoid) yang dipertemukan dengan sel telur (ovum) di dalam rahim. Di antara sangat banyak yang diciptakan ALLAH SWT sebagai tanda Ke-Maha KuasaanNya, hanya Nabi Isa AS yang bersifat istimewa karena di ciptakan tanpa melalui seorang ayah. Keadaan sepert itu tidaklah berarti ALLAH SWT yang menjadi ayahnya, karena dengan Ke-Maha Kuasaanya cukuplah dengan mengatakan “kun fa ya kun” maka jadilah apa yang di kehendakinya.
      Firman di atas juga meriwayatkan bagaimana proses manusia itu diciptakan di dalam rahim seorang ibu. Proses itu dialami oleh semua manusia, termasuk Nabi Isa As.
      Berikutnya di dalam surat Shad ayat 71 di samping firman-firman lainnya, diulangi lagi menjelaskan tentang asal muasal penciptaan manusia, yang mengatakan:
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ. (ص : 71-72)

Artinya:
      Ingatlah ketika Allah berkata kepada para malaika: “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah.” Apabila telah aku sempurnakan kejadiannya dan aku tiupkan sebagian ruhku padanya, maka hendaklah kamu tunduk dan bersujud kepadanya.

      Firman tersebut ternyata di samping menerangkan tentang asal kejadian manusia, telah melengkapi lagi penjelasan bahwa penciptaan itu diberi bentuk berupa tubuh (jasmani) yang bersifat kongkrit, juga di sertai pemberian sebagian ruh ciptaan Allah SWT. Yang bersifat abstrak bersamaan dengan itu dinyatakan pula adanya makhuk ciptaan lainnya yang disebut malaikat, yang bersifat ghaib yang diciptakan lebih dahulu, namun manusia diciptakan lebih mulia, sehingga para malaikat diperintahkan tunduk dan bersujud sebagai penghormatan kepadanya. [2]  



B.     Manusia Menurut Pandangan Filsafat Dan Pandangan Islam 
a.       Manusia Menurut Filsafat
            Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif manusia:
1.       Manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof.
2.      Manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut.
3.      Manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya.
4.      Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain.
5.      Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya.
6.      Manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain).
      Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya dan keturunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru berproduksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi menurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren (melekat di dalam diri manusia), dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik (keindahan) dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.[3]
b.      Manusia Menurut Islam
            Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (substansi = unsur asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang                 diciptakan oleh Allah SWT.[4]
            Setidaknya ada 3 kata yang di gunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan meskipun ketiga kata tersebut menunjukkan pada makna manusia, perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
a.       Kata Al-Basyar
      Secara etimologi al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulinya, di banding rambut atau bulunya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi bulu atau rambut.
      Makna etimologis dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan dan lain sebagainya. 
b.      Kata Al-Insan
      Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.
      Kata al-insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
      Perpaduan antara aspek pisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradapan, dan lain sebagainya.  
c.       Kata al-Nas
      Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.
      Dalam menunjuk makna manusia, kata al-Nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumuman tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya, Kata al-Nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafiadah dan merupakan pengisi neraka, di samping iblis.
      Kata al-Nas dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa sebagian besar manusia tidak memiliki ketetapan keimanan yang kuat. Kadangkala ia beriman, sementara pada waktu yang lain ia munafik. Hal ini dinyatakan Allah dalam QS. Al-baqoroh/2:8, 13, 44 dan 83. Adapun secara umum, penggunaan kata al-nas memiliki arti peringatan Allah kepada manusia akan semua tindakannya, seperti: jangan bersifat kikir dan ingkar nikmat (QS. An-Nisaa’ /4:37), riya (QS. An Nisaa’/4:38), larangan berbuat zalim (QS. Al-araaf/7:85), mengingatkan manusia akan adanya hukuman  dari kaum yahudi dan musyrik, dan lain-lain.
d.      Kata Bani Adam
      Secara etimologi, kata bani adam menunjukkan arti pada keturunan bani adam A.S.
       Menurut al-Thabathaba’i penggunaan kata bani adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga aspek yang di kaji:
1.      Anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakian guna menutupi auratnya.
2.      Mengingatkan pada keturunan adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu syaitan yang mengajak pada keingkaran.
3.      Memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya. Kesemua itu merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah, dalam rangka memuliakan keturunan adam di banding makhluk-Nya yang lain.
    Bila di lihat pandangan musafir di atas, terlihat bahwa pemaknaan
    kata bani adam, lebih di tekankan pada aspek amaliah manusia.

C.    Kedudukan Manusia
      Kesatuan wujud manusia antara pisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu:


1.      Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
            Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Mulai dari manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang yang mengakui bahwa diluar dirinya ada kekuasaan transendental.
            Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba, manusia mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme. Meskipun dengan pikiran dan kondisi yang cukup sederharna.
2.      Manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh
            Kedudukan manusia di alam raya sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraisy shihab, mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Sebab, meskipun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Oleh karena itu, manusia dalam visi kekhalifahannya, bukan saja sekedar menggantikan, namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah).
            Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah tersebut tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri mengembangkannya.

D.    Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Islam
      Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba. Bahkan menurut Ali Ashraf, pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami Islam tentang pengembangan individu seutuhnya.
      Pada uraian terdahulu telah dikemukakan tentang filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaanya dalam alam semesta. Dari uraian tersebut, paling tidak ada 2 (dua) implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
1.      Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan Islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna.
2.      Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditunjukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam kedua hal diatas’ harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal ini, maka pendidikan Islam di jadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Dalam konteks ini difahami bahwa posisi manusia sebagai Khalifah dan abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya peguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai subtansi dan aspek abd’. Sementara itu, keberadaan manusia sebagai resultan dari dua komponen (materi dan immateri) menghendaki pula program pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium, yaitu integrasi yang utuh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah.[5]












BAB III
KESIMPULAN

A.    Proses Penciptaan Manusia
      Proses penciptaan manusia akan kami jelaskan menggunakan ayat Al-Qur’an yang artinya: Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari sari tanah. Kemudian kami jadikan sari tanah itu air mani (terletak) dalam tempat simpanan yang teguh (rahim). Kemudian dari air mani itu kami ciptakan segumpal darah lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan dari daging segumpal itu kami ciptakan tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu kami tutup (balut) dengan daging. Sesudah itu kami jadikan dia makhluk yang baru yakni manusia yang sempurna. Maka Maha berkat (suci Allah) pencipta yang paling baik. (Al-Qur’an: surat Al-Mukminum: 12-14).
B.     Manusia Menurut Pandangan Filsafat Dan Pandangan Islam 
1.      Manusia Menurut Filsafat
a.       Manusia adalah hewan rasional (animal rasional).
b.      Manusia sebagai animal simbolik.
c.       Manusia adalah sebagai homo feber.
d.      Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens.
e.       Manusai dikatakan sebagai homo faber hal.
f.       Manusia juga disebut sebagai homo ludens.
2.      Manusia Menurut Islam
            Ada 4 kata yang di gunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan makna manusia
a.       Kata Al-Basyar
b.      Kata Al-Insan
c.       Kata al-Nas
d.      Kata al-Adam
C.    Kedudukan Manusia
a.       Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
b.      Manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh


[1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.  76.
[2] Prof. DR. H. Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h.  41.
[4] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam., h. 75.
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan Dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 48.


0 komentar:

Posting Komentar