Minggu, 16 Oktober 2016

Thoharoh Dalam Pandangan 4 Imam Mazhab Fiqh



PENDAHULUAN
Babagan tentang Thaharah termasuk babagan yang penting yang perlu dipahami dan dimengerti oleh seluruh umat islam. Bahkan para ulama penulis kitab fikih mendahulukan kitab at-thaharaoh atas selainnya.
Imam ash-Shan’ani berkata: “Beliau (ibnu Hajar) memulai dengan (kitab) thaharah karena mengikuti tata cara para penulis (buku fikih) dan untuk mendahulukan perkara agama dari selainnya. Juga untuk memperhatikan amalan yang terpenting, yaitu shalat. Ketika thaharah menjadi salah satu syarat shalat, maka beliau memulai dengannya. Kemudian ketika air adalah yang diperintahkan secara asal untuk dijadikan alat bersuci maka beliau dahulukan juga”.
Demikian juga imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani menjelaskan sebab didahulukannya kitab ath-thaharah dari yang lainnya dalampenulisan kitab fikih dengan menyatakan: “ketika kunci shalat yang merupakan tiang agama maka para penulis kitab fikih membuka karya tulis mereka dengannya”.
Berikut akan kita kaji terkait perbedaan para imam madzhab dalam hal sesuci, baik itu alat yang digunakan untuk bersuci, tata cara wudhu, mandi wajib, tayamum, serta beberapa hal yang membatalkannya.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Thaharah
Secara umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor, baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera), maupun maknawi (sebaliknya).[1] Kotor yang bersifat maknawi ini diartikan sebagai dosa, sebagaimana hadist riwayat Ibnu ‘Abbas r.a, Bahwa baginda Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sakit akan menjadi pembersih (thahurun) dalam bagimu insyaAllah”. Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya sakit itu adalah pencuci sebagian dosa”.
Thaharah, secara istilah apabila dikaji menurut beberapa madzhab, madzhab Hanafi misalnya, beliau mengartikan “thaharah” adalah bersih dari hadats atau khabas. Bersih disini maksudnya mungkin sengaja dibersihkan atau juga bersih dengan sendirinya, seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya hilang. Hadats adalah suatu yang bersifat syar’i yang menempati pada sebagian atau seluruh badan sehingga menghilangkan kesucian. Hadats disebut juga najasah hukmiyyah, artinya sang pembuat syariat menghukumi jika seorang berhadats maka dia dianggap memiliki najis dan dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana juga dilarang ketika dia memiliki najis yang dzahir. Sedangkan khabats, secara istilah adalah suatu jenis materi yang kotor dan menjijikkan yang diperintahkan oleh pemilik syariat untuk dihilangkan dan dibersihkan.[2]
Menurut madzhab Maliki, “thaharah” ialah sifat hukmiyyah yang orang memilikinya dibolehkan shalat dengan pakaian yang dipakainya dan tempat yang dia pakai untuk shalat. Sifat hukmiyyah berarti sifat yang bersifat maknawi yang ditentukan oleh sang pemilik hukum sebagai syarat sahnya shalat.[3] Dari pemikiran madzhab ini menurut Mahmud Syalthut, bahwa thaharah merupakan sesuatu yang bersifat bathiniy, yang lebih bersifat perkiraan (Dzaniniyyah), bukan sesuatu yang dapat dirasakan oleh indera (hissiy).[4]
Madzhab Syafi’i, thaharah digunakan untuk dua makna. Pertama; mengerjakan sesuatu yang dengannya diperbolehkan shalat, seperti wudhu, tayammum dan menghilangkan najis, atau mengerjakan sesuatu yang semakna dengan wudhu dan tayamum, seperti wudhu ketika masih keadaan berwudhu, tayamum sunnah dan mandi sunnah. Singkatnya, thaharah adalah nama untuk perbuatan seseorang. Kedua; thaharah berarti juga suci dari semua najis.[5] Mahmud menambahkannya dengan hadast,[6] hadast dapat dihilangkan dengan wudhu dan mandi besar apabila menanggung hadast besar. Adapun najis dapat hilang dengan mencucinya. Inilah yang menjadi tujuan dari Thaharah. Sehingga apabila diucabkan, pengertiannya adalah hilangnya najis dan hadast sekaligus.
Menurut Al Hanabillah, Thaharah menurut syara’ ialah hilangnya hadast atau yang semisalnya serta hilangnya najis atau huku hadast dan najis itu sendiri. Adapun hilangnya hadast berarti hilangnya sifat yang menghalangi sholat dan yang searti dengannya.

B.     Alat-Alat Yang Digunakan Untuk Thaharah
Bersuci tidak sah hukumnya menggunakan selain air, demikian itu menurut pendapat mayoritas ulama’. Meskipun ada ulama’ yang menyatakan bahwa api dan matahari itu dapat menghilangkan najis. Seperti pendapat imam Hanafi, menurutnya jika ada kulit bangkai menjadi kering oleh sinar matahari, maka hukumnya suci meski tidak disamak. Demikian pula jika diatas tanah terdapat najis, kemudian kering oleh sinar matahari, maka tempat itu menjadi suci dan dapat dipergunakan untuk sholat.[7] Namun tempat itu tidak dapat digunakan untuk bertayamum. Selain itu, tanah, debu, dan batu juga dapat digunakan untuk bersuci, tetapi dengan batasan tertentu.

C.    Macam-macam Air
Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh,  mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu : air mutlaq, air musta’mal, air yang tercampur benda yang suci, dan air yang tercampur dengan benda yang najis.
1.      Air Mutlaq
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk  digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاهر لنفسه مطهر لغيره.
Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya. Namun belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu` atau mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya. Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah: Air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air embun, air sumber, air es/salju. Dan yang menjadi perbedaan hukum diantara para imam madzhab adalah megenai Air Zam-zam.
·         Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah. Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia, sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.
·         Mazhab Al-Malikiyah. Mazhab Al-Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah. Dalam pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik untuk wudhu, mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zam-zam.
·         Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk membersihkan najis.
Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu :
لاَ أُحِلُّهَا لِمُغْتَسِلٍ يَغْتَسِلُ فيِ المَسْجِدِ وَهِيَ لِشَارِبٍ أَوْ لمِتَُوَضِّىء حَلَّ وَ بَلَّ
Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid, namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu'

2.      Air Musta’mal
Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.
Perbedaan pendapat apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW . Beberapa nash hadits itu antara lain :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ض قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ.   أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)[8]
وَلِلْبُخَارِيِّ: لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ  وَلِمُسْلِمٍ: "مِنْهُ".وَلأَبِي دَاوُدَ: وَلاَ يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ   .
”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalam air itu”. Riwayat Muslim,”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)[9]
a.      Ulama Al-Hanafiyah
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi. [10]
b.      Ulama Al-Malikiyah
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai). [11]

c.       Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`. Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. [12]
d.      Ulama Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti mencuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu`. Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta’mal.
Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan (ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ s إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ
Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)[13]
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati. Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.[14]
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta’mal. Air itu suci secara fisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta’mal.
3.      Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci
Air tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah. Meski pun masih tetap suci.
Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
“Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus”. (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
“Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung.” (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)

4.      Air Mutanajis
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.
5.      Air Musakhkhan Musyammasy
Air musakhkhan (مسخن) artinya adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas (مشمس) diambil dari kata syams yang artinya matahari. Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air yang dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik, tidak termasuk ke dalam pembahasan disini.
Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di kalangan ulama.
a.       Pendapat Yang Membolehkan Mutlak
Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya antara air yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah seperti Ar-Ruyani dan Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.[15]
b.      Pendapat Yang Memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah mazhab Al-Malikiyah dalam pendapat yang muktamad, sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian Al-Hanafiyah.
Pendapat yang kedua ini umumnya mengacu kepada atsar dari shahabat Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu, yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari.
أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الإِغْتِسَالَ باِلمَاءِ المُشَمَّس
Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas (HR. Asy-Syafi'i)[16]
Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan, sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya sebagai (يورث البرص), yakni mengakibatkan penyakit belang.
لاَ تَفْعَليِ يَا حُمَيْرَاء فَإِنَّهَا يُوْرِثُ البَرَص
Jangan lakukan itu wahai Humaira' karena dia akan membawa penyakit belang. (HR. Ad-Daruquthuny)[17]
Kemakruhan yang mereka kemukakan sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan, bukan pada wilayah syariah. Namun mereka yang mendukung pendapat ini, seperti Ad-Dardir menyatakan air musyammas musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah, manakala dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi Arabia). Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di Mesir atau Rum, hukum makruhnya tidak berlaku.[18]
6.      Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy
Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan wudhu atau mandi janabah, lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran panasnya benda najis, tetap saja air itu boleh digunakan untuk berthaharah.
Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air secara benar-benar (isbagh), hukumnya menjadi makruh, bukan karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.[19]

Hanafi
Maliki
Syafi’I
Hanbali
Air Mutlaq
Suci mensucikan
Suci mensucikan
Suci mensucikan
Suci mensucikan
Air musta’mal
Suci tidak mensucikan
Suci mensucikan
Suci tdak menscikan
Suci tidak mensucikan
Air yang tercampur dgn barang yang suci




Air Mutanajis




Air Musakhkhan Musyammasy
Boleh
Makruh
Boleh
Boleh
Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy

Boleh
Boleh


D.    Najis
1.      Khamr
Para imam madzhab sepakat tentang najisnya khamr. Kecuali sebuah riwayat dari Abu Dawud adz-Zhahiriy yang mengatakan kesuciannya tetapi mengharamkannya untuk dikonsumsi. Mereka bersepakat apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Namun jika khamr berubah menjadi cuka karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i, dan Hambali adalah tidak suci.[20]
2.      Anjing dan Babi
Syafi’i  dan  Hambali memberi pendapat bahwa anjing dan babi adalah najis. Sesuatiu yang terjilat oleh anjing harus dibasuh tujuh kali. Menurut Hanafi Anjing adalah najis, tetapi bekas jilatannya boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis lainnya. Jika dibasuh sekali sudah diduga najisnya hilang, maka basuhannya sudah dicukupkan 1 kali tersebut. Namun apabila diduga belum hilang najisnya, maka harus dibasuh berkali,kali, meskipun 20 kali lebih. Sedangkan menurut madzhab Maliki, anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis .
Babi disamakan dengan anjing kenajisannya,sehingga bekas jilatannya harus dibasuh sampai tujuh kali. Hal ini menurut pendapat yang paling shahih dalam madzhab Asy-Syafi’i. Imam Maliki berpendapat bahwa babi itu suci ketika masih hidup, karena tidak ada dalil yang menajiskannya. jikalau Imam Hanafi Najis babi harus dibasuh seperti najis-najis lainnya.
3.      Air Kencing Bayi
Menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi mensucikan air kencing bayi laki-laki yang belum makan sesuatu apapun keciali ASI, ialah cukup dengan memercikkannya ketempat yang najis. Jika bayi perempuan maka harus dibasuh dan disiram. Maliki keduanya harus di hapus dan hukum keduanya sama. Hambali berpendapat bahwa air kencing perempuan yang masih bayi adalah suci. 
4.      Bangkai
a.       Kulit
Menurut madzhab Hanafi Semua kulit binatang dapat menjadi suci dengan disamak, kecuali kulit anjing dan babi. Begitu halnya dengan madzhab Syafi’i , hanya saja keturunan dari anjing dan babi atau salah satunya juga dihukumi sama dengan anjing dan babi. Maliki  kulit tidak menjadi suci, tetapi dapat dipergunakan untuk sesuatu yang basah. Dalam madzhab hambali, kulit tidak dapat suci dan tidak dapat dipergunakan apapun sebagaimana daging bangkai.
Kulit binatang sembelihan tidak dapat digunakan untuk apapun jika binatang tersebut tidak halal dimakan. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Menurut madzhab Maliki, Kulit bangkai dapat dipergunakan kecuali kulit babi. Jika binatang buas atau anjing disembelih, maka kulitnya suci, boleh diperjual belikan, menyimpan air wudhu, meskipun tidak disamak. Sedangkan Hanafi  semua bagiannya suci, tetapi dagingnya haram. Maliki dagingnya makruh.
b.      Rambut dan Bulu
Asy-Syafi’i, Rambut dan bulu bangkai selain manusia adalah najis. Maliki: Bulu termasuk bagian badan yang tak pernah mati. Oleh karenanya hukumnya suci secara mutlak, baik itu dari binatang halal maupun tidak halal. Begitu halnya dengan Hambali rambut dan bulu anjing dan babi adalah suci. Hanafi  menambahkan bahwa tanduk, gigi dan tulang adalah suci, karena tidak bernyawa. Pemanfaatan bulu babi untuk bantal, Hanafi dan Maliki  memberikan keringanan, Syafi’i melarangnya. Madzhab Hambali memakruhkannya.
c.       Setiap binatang yang darahnya tidak mengalir.
Menurut Hanafi dan  Maliki, Seperti lebah, semut, kumbang, dan kalajengking, jika mati pada benda yang basah, maka benda itu tidak menjadi najis karena binatang itu sendiri adalah suci. Syafi’i dan Hambali benda itu tidak menjadi najis, tetapi binatang itu sendiri adalah najis.
d.      Bangkai Belalang dan ikan
Menurut Ijma’, bahwa bangkai belalang dan ikan adalah suci. Adapun tentang mayat manusia, menurut Maliki, Hambali, dan Syafi’i tidak najis. Hanafi mayat itu najis tetapi dapat disucikan dengan dimandikan.
5.      Sisa Makanan dan Minuman Binatang
Hanafi, Syafi’i dan Hambali sama-sama berpendapat bahwa sisa makan dan minum anjing dan babi adalah najis, sedangkan selain itu suci. Pendapat yang paling shahih dari Hambali sisa makan dan minuman binatang buas adalah najis. Maliki berpendapat bahwa sisa makan dan minum binatang itu adalah suci.
Menurut tiga imam madzhab, Sisa makan dan minum baghal dan keledai adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Hanafi ragu, apakah ia dapat mensucikan. Pendapat yang paling shahih dari Hambali, bahwa hal itu najis.
Sisa air yang diminum oleh binatang yang najis, seperti anjing dan babi najis, dan sisa air yang diminum oleh binatang yang suci tidak najis. Demikian ini menurut pendapat kalangan Syi’ah.[21]
6.      Najis Yang Dimaafkan
Syafi’i mengatakan bahwa segala sesuatu yang najis, baik itu besar maupun kecil, hukumnya sama dalam mensucikannya. Tidak ada yang dimaafkan kecuali sesuatu yang sulit dihindari menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul, darah kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu jalan. Maliki juga berpendapat demikian, dengan menambahkan darah sedikit dimaafkan. Madzhab Hanafi, sesuatu najis yang ukurannya lebih kecil dari mata uang satu dirham dimaafkan.
7.      Benda yang Keluar dari perut
Benda lunak yang keluar dari dubur adalah najis. Demkian yang diseakati oleh para ulama’. Namun ada riwayat dari Hanafi, bahwa itu adalah suci.
Syafi’i berpendapat bahwa air kencing dan tahi adalah najis secara mutlak. Maliki dan Hambali, air kencing dan kotoran binatang yang dapat dimakan dagingnya adalah suci.

8.      Air Mani
Menurut Hanafi dan Maliki bahwa mani manusia adalah najis. Pendapat yang paling shahih dari Syafi’i Air mani itu suci secara mutlak, kecuali mani anjing dan babi. Sementara itu menurut Hambali mani yang suci hanya air mani manusia.
Imamiyyah dari kalangan Syi’ah menghubungkan mani itu najis, sedang nanah tidak najis. Kencing manusia najis. Sisa minuman burung yang boleh dima- kan dan yang tidak boleh dimakan suci. Minuman yang memabuk- kan najis (yang cair). Muntah tidak najis. Mazi dan Wadi kedua-duanya tidak najis.[22]

Hanafi
Maliki
Syafi’I
Hanbali
Khamr
Najis
Najis
Najis
Najis
Anjing dan Babi
Najis
Tidak Najis
Najis
Najis
Air Kening Bayi
Suci bayi Lk
Najis
Suci bayi Lk
Suci bayi Pr
Bangkai




Sisa Makanan Binatang
Kecuali anjing dan babi suci
Suci
Kecuali anjing dan babi suci
Kecuali anjing dan babi suci
Najis Yang Dimaafkan
Lebih kecil dri 1 dirham
Sama dalam mensucikan
Sama dalam mensucikan

Benda Yang Keluar Dari Perut
Suci
Binatang halal suci
Najis
Binatang halal suci
Air Mani
Najis
Najis
Suci
Suci

E.     Wudhu
1.      Rukun Wudhu
Madzhab Hanafi; Rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada empat, yaitu yang tertera dalam al-Qur’an:
a.       Membasuh wajah. Batasan wajah adalah tempat tumbuh rambut sampai ujung dagu. Dari segi lebar, ukuran muka yang harus dibasuh ketika wudhu adalah dari pangkal telinga kiri sampai pangkal telinga kanan, termasuk juga bawah telinga.
b.      Membasuh kedua tangan dengan kedua sikunya.
c.       Mengusap seperempat kepala.
d.      Membasuh kedua kaki dengan kedua mata kaki nya.
Madzhab Maliki; Fardhu wudhu menurut madzhab Maliki ada tujuh:[23]
a.       Niat. Seorang yang berwudhu harus berniat untuk membolehkan sholat, mengerjakan fardhu wudhu, atau menghilangkan hadats kecil. Posisi niat berada ketika akan wudhu dan tidak wajib menghadirkan niat sampai wudhu selesai. Jika seseorang membasuh anggota wudhu tanpa niat, maka wudhunya bathal. Niat juga memiliki syarat sah, yaitu; yang berniat harus beragama Islam, yang berwudhu mesti mumayyiz dan harus yakin serta pasti, tidak boleh ragu.
b.      Membasuh muka. Batasannya sama dengan madzhab Hanafi
c.       Membasuh kedua tangan dengan kedua siku. Keharusan membasuh kedua tangan ini sama dengan pendapat madzhab Hanafi, seperti wajib membasuh jari-jari dan bagian bawah kuku yang panjang.
d.      Mengusap seluruh kepala. Batas kepala adalah dari tempat tumbuh rambut di depan sampai tengkuk belakang. Termasuk juga rambut cambang dan atas dua daun telinga serta belakangnya. Jika seseorang memiliki rambut panjang atau pendek, maka haruslah diusap.
e.       Membasuh kedua kali dengan kedua mata kaki. Demikian juga belahan-belahan kaki wajib dibasuh. Jika anggota wajib tidak ada, maka gugurlah kewajiban membasuh.
f.       Muwalat.
g.      Mengurut (mengulang-ulang secara rapi) semua anggota wudhu. Seperti menyela-nyela rambut dan jari jemari.
Madzhab Syafi’i; Fardhu wudhu menurut madzhab Syafii ada enam.[24]
a.       Niat. Berbeda dengan madzhab Maliki, madzhab Syafii mewajibkan niat harus dibarengi dengan basuhan pertama. Jika seseorang membasuhnya tanpa niat, maka batal lah wudhu nya. Bagi orang yang memiliki penyakit beser, maka baginya harus niat “untuk kebolehan shalat” atau “untuk membaca mushaf” atau “melaksanakan fardhu wudhu”.
b.      Membasuh wajah. Ukuran wajah hampir sama dengan madzhab Hanafi di atas. Hanya saja madzhab Syafii mewajibkan untuk membasuh kulit di bawah dagu.
c.       Membasuh kedua tangan dengan sikunya. Membersihkan kotoran-kotoran di bawah kuku yang menghalangi sampainya air ke kulit adalah wajib. Kecuali bagi para pekerja yang tidak lepas dari kotoran tersebut, selagi tidak terlalu banyak, maka ada kemudahan.
d.      Mengusap bagian kecil dari kepala. Jika di kepalanya terdapat rambut, maka cukup mengusap sebagian saja. Jika air terpercik ke kepala atau dia mengguyur kepala tersebut sehingga basah, maka dianggap cukup.
e.       Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya.
f.       Tartib (berurutan) antara empat anggota tersebut sebagaimana tertera dalam al-Quran.
Madzhab Hanbali; Fardhu wudhu menurut mereka ada enam.[25]
a.       Niat bagi madzhab ini adalah syarat sah wudhu, bukan fardu wudhu sebagaimana dikatakan ulama Maliki dan Syafii.
b.      Membasuh wajah. Panjang dan lebar wajah hampir sama dengan pendapat sebelumnya. Hanya saja cambang dan kulit putih di bawah dua daun telinga hanya wajib diusap, karena keduanya adalah  bagian dari kepala. Mereka juga berpendapat bahwa bagian dalam mulut dan hidung mesti terkena air, karena keduanya bagian dari wajah.
c.       Membasuh kedua tangan dengan sikunya. Pendapat madzhab ini tidak jauh berbeda dengan madzhab lainnya.
d.      Mengusap seluruh kepala, termasuk juga kedua telinga.
e.       Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya.
f.       Tartib.
g.      Muwalat. Dalam masalah ini, madzhab Hanbali sepakat dengan pendapat madzhab Maliki. Madzhab Hanafi dan Syafii menganggap muwalat hanya sunnah dan dimakruhkan jika meninggalkan muwalat.

Hanafi
Maliki
Syafi’I
Hanbali
Niat

Rukun
Rukun
Rukun
Membasuh Wajah
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Membasuh Tangan
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Mengusap Kepala
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Membasuh Kaki
Rukun
Rukun
Rukun
Rukun
Tertib


Rukun
Rukun
Muwalat

Rukun

Rukun
Addalk

Rukun



2.      Hal yang membatalkan Wudhu
a.       Keluarnya sesuatu dari qubul dan dubur dan Keluar Mani
Menurut al-Malikiyah keluar sesuatu yang tidak lazim seperti batu, darah atau nanah tidak membatalkan wudhu’ jika sesuatu tersebut terbentuk didalam usus (bukan karena menelan batu).
Keluar mani menurut pendapat yang shahih dari Syafi’i tidak membatalkan wudhu, akan tetapi mewajibkan mandi. Sedangkan Hanafi membatalkan wudhu.[26]
b.      Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun di atas bumi (tidak memungkinkan keluar sesuatu dari dubur).
Menurut al-Hanabalah tidur membatalkan wudhu’ secara mutlaq. Menurut al-Malikiyah tidur pulas dapat membatalkan wudhu’ baik tamakkun atau tidak, sementara tidur tidur ringan tidak membatalkan wudu’.
c.       Hilang Akal Karena Mabuk, Tidur Atau Sakit
d.      Menyentuh Kemaluan
Hanafi berpendapat itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak, dengan menggunakan sisi tangan manapun ia menyentuh. Syafi’i hal itu membatalkan wudhu jika sentuhannya dengan telapak tangan bagian dalam serta tidak ada penghalang baik disertai syahwat maupun tidak. Sedangkan bila sentuhannya dengan punggung tangan, hal itu tidak membatalkan wudhu. Hambali  tetap membatalkan wudhu baik sentuhannya menggunakan tangan bagian dalam maupun bagian luar. Riwayat yang paling sahih dari Maliki jika sentuhannya dengan disertai syahwat maka wudhunya batal, jika tidak, maka tidak batal.[27]
Dalam riwayat lain, pendapat ini adalah pendapat madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i -pendapat beliau yang masyhur-, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan pula dari banyak sahabat. Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Buroh binti Shofwan:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)[28]
e.       Bersentuhan kulit Laki-laki dan Perempuan
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang hukum laki-laki menyentuh perempuan. Syafi’i hal itu membatalkan wudhu dalam keadaan apapun jika tidak ada penghalang. Kecuali yang disentuh itu adalah muhrim. Maliki dan  Hambali jika persentuhan itu disertai syahwat, maka wudhunya batal, jika tidak, tidak batal. Menurut Hanafi hal itu tidak membatalkan wudhu, kecuali jika menegangkan dzakar, baik tegang dengan sendirinya maupun dengan kesengajaan.
f.       Keluarnya Sesuatu dari badan, seperti darah, nanah dan semacamnya, akibat luka atau lainnya.
No
Hal yang Membatalkan Wudhu
Hanafi
Maliki
SyafiI
Hanbali
1.
Keluarnya seuatu lewat qubul dan dubur
Batal
Batal jika kelar sesuatu yang lazim
Batal
Batal
2.
Tidur yang bukan dalam posisi Tamakkun
Batal
Batal jika pulas
Batal
Batal walau dalam tamakkun
3.
Hilang akal karena mabuk, tidur,atau sakit
Batal
Batal
Batal
Batal
4.
Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan
Tidak Batal
Batal
Batal
Batal
5.
Menyentuh kulit lawan jenis bukan mahrom
Tidak Batal
Batal jika merasa lezat
Batal
Batal dengan syahwat
6.
Keluarnya sesuatu dari badan
Batal
Tidak Batal
Tidak Batal
Tidak Batal

3.      Sunah-sunah Wudhu
Madzhab Hanafi; Sunnah yang muakkad, menurut mereka adalah sama statusnya dengan hukum wajib sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sunnah tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: [29]
a.       membaca basmalah.
b.      Membasuh kedua tangan sampai pergelangan atau persendian tangan. Sebagian kalangan Hanafiyyah menganggap ini adalah fardhu wudhu.
c.       Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya kembali (istinsyaq).
d.      Menyela-nyela jari jemari tangan dan kaki.
e.       Mengulang basuhan sebanyak tiga kali.
f.       Mengusap seluruh kepala.
g.      Mengusap kedua telinga,
h.      Niat.
i.        Tartib.
j.        Muwalat.
k.      Bersiwak. Baik dengan kayu khusus, atau dengan jari jemarinya. Waktunya adalah ketika sedang berkumur-kumur.
l.        Memegang wadah air denga tangan kanan ketika membasuh kedua kaki dan tangan kiri menyela-nyela jari-jari kaki. 
m.    Selalu memulai basuhan pada ujung jari tangan dan kaki.
n.      Memulai basuhan kepala dari bagian kepala depan.
o.      Berurutan.
p.      Sunguh-sungguh ketika berkumur dan istinsyaq, kecuali bagi yang puasa.
q.       Tidak berlebihan ketika dia yakin sudah melakukan setiap basuhan tiga kali.
r.        Mengulang basuhan kedua tangan dengan sikunya.

Madzhab Maliki; Sunnah wudhu yang muakkadah (diberi pahala jika mengerjakan dan tidak disiksa jika tidak melaksanakan) adalah sebagai berikut: [30]
a.       Membasuh kedua tangan dengan kedua persendiannya.
b.      Berkumur.
c.       Menghirup air ke hidung. Ini harus dilakukan dengan tarikan nafas. Jika tidak, maka tidak mendapat pahala sunnah.
d.      Mengeluarkan air dari hidung dengan nafas.
e.       Mengusap kedua telinga; dalam, luar dan daun telinga.
f.       Memakai air baru untuk mengusap kedua teliga.
g.      Tertib.
h.      Mengusap kepala kembali jika setelah usapan pertama, tangan masih basah.
i.        Menggerakan cincin untuk memudahkan air masuk ke bawahnya.
Selain sunah-sunah wudhu dalam madzhab Maliki terdapat juga istilah fadhail wudhu. Diantara fadhail wudhu adalah sebagai bertikut;
a.       berwudhu di tempat yang suci.
b.      Mengefisienkan penggunaan air.
c.       Mendahulukan anggota sebelah kanan dibanding kiri.
d.      Meletakan wadah yang terbuka di sebelah kanan dan yang tertutup di sebelah kiri.
e.       Memulai wudhu pada bagian yang secara adat lebih awal, seperti wajah bagian atas dan ujung jari.
f.       Basuhan kedua dan ketiga jika basuhan pertama sudah menyeluruh.
g.      Menyikat gigi sebelum wudhu walau dengan kayu.
h.      Membaca basmalah di awal dan tidak berbicara ketika wudhu, kecuali diperlukan.
i.        Berurutan antara yang sunnah dan yang fardhu.
Madzhab Syafi’i; Sunnah wudhu menurut madzhab Syafii cukup banyak. Di antaranya:[31]
a.       Membaca ta’awwudz.
b.      Membaca basmalah.
c.       Berniat dalam hati untuk mengerjakan hal-hal yang disunnahkan dalam wudhu.
d.      Melafalkan niat.
e.       Membasuh dua telapak tangan sampai pergelangan.
f.       Mendahulukan membasuh kedua telapak tangan di banding berkumur.
g.      Berkumur.
h.      Memasukan air ke dalam hidung.
i.        Meletakan wadah air yang terbuka di sebelah kanan dan yang tertutup di sebelah kiri.
j.        Berdoa ketika memulai berwudhu dan pada setiap anggota yang dibasuh.
k.      Menggosok gigi.
l.        Berdoa ketika menggosok gigi.
Madzhab Hanbali; Sunnah wudhu menurut madzhab ini adalah sebagai berikut:
a.       Menghadap kiblat.
b.      Bersiwak ketika berkumur.
c.       Membasuh kedua telapak tangan tiga kali.
d.      Mendahulukan berkumur dan istinsyaq dari pada membasuh wajah.
e.       Bersungguh-sungguh dalam berkumur dan istinsyaq.
f.       Menggosok-gosok semua anggota.
g.      Memperbanyak air ketika membasuh wajah.
h.      Menyela-nyela jenggot yang tebal ketika dibasuh.
i.        Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki.
j.        Memperbaharui air ketika mengusap telinga.
k.      Mendahulukan anggota sebelah kanan dibanding kiri.
l.        Basuhan kedua dan ketiga, jika basuhan pertama telah sempurna.
m.    Menyertakan niat dari awal sampai akhir.
n.      Niat melaksanakan sunah wudhu ketika membasuh dua telapak tangan.
o.      Mengucapkan lafadz niat secara pelan
p.      Mengucapkan doa setelah selesai wudhu.

Hanafi
Maliki
Syafi’i
Hanbali
Sunnah Wudhu
18
9
9
16

F.     Mandi Wajib
Macam-macam mandi wajib yang telah di sepakati oleh para ulama’ ada 4 antara lain:
1.      Junub
2.      Haid
3.      Nifas
4.      Orang Islam yang meninggal dunia.
Hanbali: Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam. Syafi’i dan Imamiyah: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia wajib mandi karena junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau ada waktu masuk Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak mewajibkan mandi.
Hanafi dalam keterangan yang lain: Ia tidak mewajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al- Mughni, jilid I, hal. 207).
Mandi Junub Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu: [32]
1.      Keluar mani,
Baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Imamiyah dan Syafi’i; Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tidak ada bedanya, baik karena syahwat maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hanbali: Tidak mewajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak di wajibkan mandi.
2.      Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh)
Yaitu memasukan kepala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama madzhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat; apakah kalau tidak dimasukan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua kemaluan itu, diwajibkan mandi atau tidak?
Hanafi: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu: Pertama, baligh. Kalau yang baliqh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baliqh saja, dan kalau keduanya sama- sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan mandi. Kedua, harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal,maka ia tidak diwajibkan mandi.
Imamiyah dan Syafi’i: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baliqh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada batas (aling- aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.
Hanbali dan Maliki: Baik yang menyeetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Rukun Mandi menurut beberapa ulama’ antara lain:
Hanafi; rukun mandi ada tiga:[33]
1.      Berkumur,
2.      Istinsyaq dan
3.      Membasuh seluruh anggota badan dengan air.
Maliki: rukun mandi ada lima;
1.      Niat,
2.      Meratakan air ke seluruh badan,
3.      Mengosok- gosok semua bagian badan sambil menyiramkan air,
4.      Muwalat dan
5.      Menyela-nyela seluruh rambut badannya dengan air.
Syafii; rukun mandi ada dua:
1.      Niat dan,
2.      Meratakan seluruh badan dengan air.
Hanbali; rukun mandi hanya satu, yaitu meratakan air ke seluruh badan. Mulut dan hidung juga bagian dari badan, maka harus dibasuh dari dalam
G.    Tayamum
1.      Pengertian Tayamum
Menurut bahasa tayamum adalah menyengaja. Sebagaimana firman allah :
ولاتيممواالخبيث منه تنفقون (البقرة :267)
Dan jangalah kamu bermaksud sengaja ( memilih )yang buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya (Qs. Al-baqarah 267).
Sedangkan menurut istilah tayamum adalah menyengaja menggunakan tanah untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat supaya diperbolehkannya shalat dan ibadah yang lain. Pengertian lain mengenai tayamum secara istilah adalah mengusap muka dan kedua tangan dengan menggunakan debu yang mensucikan menurut cara yang khusus.
2.      Dasar diberlakukannya tayamum
Pensyari’atan tayamum itu terdapat dalam al-qur’an hadits dan ijma’. Adapun ketetapan yang terdapat dalam al-qur’an adalah firman allah:
وإن كنتم مرضى أوعلى سفر أوجاء أحد منكم من الغا ئط اولامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فمسحوا بوجوهكم وأيديكم منه. ما يريدالله ليجعل عليكم من حرج  (المائدة : 6)
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air besar atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih, suci); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Q.S Al-maidah 5:6)
3.      Sebab diperbolehkannya tayamum
Setiap sesuatu perkara ataupun kejadian itu pasti mempunyai sebab, dalam islam namanya hukum wadz’i atau bisa disebut hukum sebab akibat. Begitupula dengan tayamum, tayamum disyari’atkan mempunyai beberapa sebab diantaranya adalah:
a.       Apabila tidak ada air
Apabila tidak ada air untuk bersuci. Dalam artian tidak mendapatkan air sama sekali, atau ada air akan tetapi tidak mencukupi untuk dibuat bersuci.
Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apabila ia mendapatkan air yang tidak cukup dipakai bersuci maka ia wajib menggunakan sekedarnya untuk sebagian anggota wudhu’kemudian hendaknya bertayamum untuk anggota yang lainnya.
Menurut madzhab Hanafi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat( tidak sakit ), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak boleh pula shalat kalau tidak ada air. Madzhab Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8, surat Al-Maidah:
“......Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya) , lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah......”
Menurut Malikiyah mereka berkata bahwa seorang yang tidak mendapatkan air, yang bukan dalam bepergian dan dalam keadaan sehat itu tidak boleh untuk melakukan shalat kecuali shalat nafilah terkecuali apabila shalat nafilahnya itu mengikuti yang fardhu. Berbeda halnya dengan orang musafir dan orang yang sakit.
b.     Tidak mampu menggunakan air
Tayamum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air atau dalam keadaan membutuhkan air. Misalnya ia mendapatkan air yang cukup untuk dipakai bersuci, akan tetapi ia tidak mampu menggunakanya, ataupun ia mampu menggunakan air tersebutakan tetapi ia membutuhkan untuk minum dan lain sebagainya.
c.      Ketika dalam keadaan sempitnya waktu shalat
Ketika mampu menggunakan air untuk wudhu’ ataupun mandi akan tetapi takut jika waktu shalat itu habis hanya untuk mencari air.
d.     Ketika adanya bahaya
Ketika ada air untuk wudhu’ dan mandi akan tetapi dia takut terhadap sesuatu yang membahayakan harta dan jiwanya. Ketika air sangat dingin dan dia menyangka adanya bahaya ketika menggunakan air tersebut
4.     Debu yang digunakan tayamum
Pada dasarnya imam madzhab sama dalam menentukan alat tayamum yaitu tanah yang suci, akan tetapi dalam menentukan sifat dan hakikat tanah yang suci “ash-shaid” , mereka  berbeda pendapat. Dalil yang menunjukkan debu yang digunakan untuk tayamum adalah firman allah surat An-Nisa’ ayat 42
......فتيمموا صعيدا طيبا.....
"…..bertayamumlah kalian semua dengan debu yang suci”
Syafi’iyah dan Hanabilah; maksud dari “ash-shaid” adalah “at-turab” (tanah). Oleh karena itu , tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu.
Hanafiah dan Malikiyah; “ash-shaid” adalah “al-ardh” (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu.
Malikiyah menambahkan; boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.
5.     Tata cara tayamum
Pada dasarnya inti dari tayamum adalah mengusap wajah dan tangan, akan tetapi dalam menentukan syarat rukunya para imam madzhab berbeda pendapat. Seperti yang dikemukakan imam-imam berikut ini :
Malikiyah : rukun tayamum menurut mereka ada empat :
a.     Niat.
b.     Menepakan tangan yang pertama.
c.      Meratakan wajah dan kedua tangan dengan debu.
d.     Muwalat.
Hanabilah : mereka berpendapat bahwa rukun tayamum adalah :
a.     Mengusap mengusap seluruh bagian wajah selain yang ada di dalam mulut dan di dalam telinga, dan selain di bawah rambut (jenggot) yang tipis.
b.     Mengusap kedua tangan hingga di kedua pergelangan.
c.      Tertib.
d.     Muwalat untuk tayamum yang disebabkan karena hadats kecil.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa tayamum itu ada tujuh yaitu :
a.     Niat
b.     Mengusap wajah
c.      Mengusap kedua tangan sampai kedua siku
d.     Tertib
e.      Memindahkan debu pada anggota tubuh
f.       Tanah yang mensucikan dan berdebu
g.     Sengaja memindahkan debu tersebut pada anggota tayamum
Hanafiah : mereka berpendapat rukun tayamum itu ada dua yaitu :
a.     Mengusap
b.     Dua kali menepak pada debu
Niat dan ini didalam tayamum mempunyai cara khusus yang dapat dirinci menurut pendapat berbagai madzhab. Hanafiyah dan Hanabilah: mereka berkata bahwa niat merupakan syarat didalam tayamum bukan sebagai rukun. Malikiyah: jika ia berniat untuk menghilangkan hadats saja, maka tayamum itu batal, karena tayamum menurut mereka tidak dapat menghilangkan hadats.
Hanafiyah: mereka berkata bahwa niat tayamum yang sah digunakan untuk shalat itu disyaratkan hendaknya orang tersebut berniat dengan salah satu dari tiga hal berikut:
a.     Berniat untuk bersuci dari hadats yang ia lakukan.
b.     Berniat agar diperbolehkannya shalat.
c.      Berniat untuk melakukan suatu ibadah maqshudah (ibadah yang sengaja diperintahkan)
Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang yang bertayamum wajib berniat agar boleh melaksanakan shalat dan yang semacamnya. Imam Syafi’i merinci tentang niat tayamum sebagai berikut :
a.     Apabila berniat untuk melakukan ibadah fardhu, maka tayamum tersebut juga bias untuk ibadah nafilah dan sunah.
b.     Apabila berniat untuk melakukan ibadah nafilah, maka tayamum tersebut tidak bias digunakan untuk ibadah fardhu.
6.     Ibadah-ibadah yang diperbolehkan menggunakan tayamum
Pada pembahasan ini, ulama’ berbeda pendapat tentang penggunaan tayamum untuk shalat. Menurut pendapat Malikiyah yang masyhur, satu kali tayamum berlaku untuk dua kali shalat fardhu. Menurut Abu Hanifah boleh menjamak beberapa shalat wajib dengan satu kali tayamum. Menurut imam Syafi’i, Malliki, dan Hambali: tidak boleh mengerjakan dua shalat fardhu dengan satu tayamum, baik bagi orang yang musafir ataupun yang mukim. Hukum tayamum sama dengan hukum wudhu’, yaitu bisa menjadikan sahnya melakukan ibadah dengan tayamum, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " أن الصعيد طهور مسلم, وإن لم يجد الما، عشر سنين, فإذا وجد الماء فليمسه بشرته فإن ذالك خير" رواه أحمد و الترمذي
  1. Beberapa hal yang membatalkan tayamum
Para fuqaha’ bersepakat bahwa hal yang membatalkan tayamum adalah sebagai berikut :
a.       Perkara yang membatalkan wudhu’.
b.      Menemukan air diluar waktu shalat.
c.       Murtad. (mauquf)
Madzhab hanabilah menambahkan perkara yang membatalkan tayamum, yaitu keluarnya waktu shalat. Madzhab syafi’iyah berpendapat mengenai hal yang membatalkan tayamum yaitu :
a.       Terjadinya riddah (keluar agama Islam), walaupun dalam bentuknya saja, seperti murtadnya anak kecil (belum cukup usia).
b.      Hilangnya udzur yang memperbolehkannya tayamum. Sebelum ia menyempurnakan takbiratul ihramnya.
Rukun tayamum

Hanafi
Maliki
Syafi’I
Hanbali
Niat

Rukun
Rukun

Mengusap wajah

Rukun
Rukun
Rukun
Mengusap tangan sampai siku

Rukun
Rukun
Rukun
Tertib


Rukun
Rukun
Memindahkan debu pada anggota tubuh


Rukun

Tanah yang mensucikan dan berdebu


Rukun

Sengaja memindahkan debu pada anggota tayamum


Rukun

Muwlat

Rukun

Rukun


PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor, baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera), maupun maknawi (sebaliknya). Kotor yang bersifat maknawi ini diartikan sebagai dosa, sebagaimana hadist riwayat Ibnu ‘Abbas r.a, Bahwa baginda Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sakit akan menjadi pembersih (thahurun) dalam bagimu insyaAllah”. Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya sakit itu adalah pencuci sebagian dosa”. Banyak perbedaan para imam madzhab dalam hal bersuci, semisal alat yang digunakan untuk bersuci, rukun wudhu, rukun mandi wajib, rukun tayamum, dan beberapa hal yang membatalkannya.







DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Aboebakar. Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzhab. Jakarta: Islamic Research Institute, 1977.
Hasbiyallah. Perbandingan Madzhab. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Juli 2012.
Syalthut, Mahmud. Fiqih Tujuh Madzhab. terj. Abdullah Zakkiy Al Kaaf. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Zaki , Abdullah. Terjemahan Rahmah Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah. Bandung : Hasyimi Press,2004.


[1] Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakkiy Al Kaaf ( Bandung: Pustaka Setia, 2007), 31.
[2] Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Juli 2012, 243
[3] Ibid., 245
[4] Mahmud Syaltut, Fiqih Tujuh Madzhab, 32.
[5] Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, 243
[6] Mahmud Syaltut, Fiqih Tujuh Madzhab, 33
[7] Abdullah Zaki, TerjemahanRahmah Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah, (Bandung : Hasyimi Press,2004), 14
[8] Shahih Muslim – 283.
[9] Sunan Abu Daud - 70
[10] Kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
[11] As-Syahru As-Shaghir jilid 37 halaman 1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi jilid 41 halaman 1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 31, Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 26 dan sesudahnya
[12][15]Lihat Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 20 dan Al-Muhazzab jilid 5 halaman 1 dan 8
[13] Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
[14] Wahbah Azu-Zuhayli, Al-Fiqhul Islmai wa Adillahutuh, Jilid 1 halaman 122
[15] Al-Majmu' 1 187 dan Al-Mughni 1 18-20
[16] Dalil ini bukan hadits Nabi SAW melainkan atsar dari Umar bin Al-Khattab. Al-Imam Asy-Syafi'i menyebutkan hadits ini dalam kitab Al-Umm jilid 1 halaman 3. Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhish jilid 1 halaman 22 menyebutkan bahwa sanad periwayatan atsar ini sangat lemah.
[17] Hadits ini pun disinyalir oleh sebagian muhaqqiq sebagai hadits yang lemah sekali dari segi periwayatannya.
[18] Asy-Syarhush-shaghir 1 16 dan Hasyiyatu Ad-Dasuqi 1 44
[19] Asy-Syarhul Kabir 1 45
[20] Ibid., 16
[21] Aboebakar Atjeh, Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzhab, (Jakarta: Islamic Research Institute, 1977), 67
[22] Ibid., 67
[23]  Ibid., 244
[24] Ibid., 245
[25] Ibid., 246
[26] Abdullah Zaki, TerjemahanRahmah Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah, 22
[27] Abdullah Zaki, TerjemahanRahmah Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah, 23

[28] Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?,http//rumaysho.com, Diakses pada tangal 27 oktober 2014.

[29] Ibid., 247
[30] Ibid., 249
[31] Ibid.,249
[32] Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, 264
[33] Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, 267