PENDAHULUAN
Babagan
tentang Thaharah termasuk babagan yang penting yang perlu dipahami dan
dimengerti oleh seluruh umat islam. Bahkan para ulama penulis kitab fikih
mendahulukan kitab at-thaharaoh atas selainnya.
Imam
ash-Shan’ani berkata: “Beliau (ibnu Hajar) memulai dengan (kitab) thaharah
karena mengikuti tata cara para penulis (buku fikih) dan untuk mendahulukan
perkara agama dari selainnya. Juga untuk memperhatikan amalan yang terpenting,
yaitu shalat. Ketika thaharah menjadi salah satu syarat shalat, maka beliau
memulai dengannya. Kemudian ketika air adalah yang diperintahkan secara asal
untuk dijadikan
alat bersuci maka beliau dahulukan juga”.
Demikian
juga imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani menjelaskan sebab didahulukannya kitab
ath-thaharah dari yang lainnya dalampenulisan kitab fikih dengan menyatakan:
“ketika kunci shalat yang merupakan tiang agama maka para penulis kitab fikih
membuka karya tulis mereka dengannya”.
Berikut
akan kita kaji terkait perbedaan para imam madzhab dalam hal sesuci, baik itu
alat yang digunakan untuk bersuci, tata cara wudhu, mandi wajib, tayamum, serta
beberapa hal yang membatalkannya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Thaharah
Secara umum, kata thaharah
menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor, baik yang kotor itu
bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera), maupun maknawi
(sebaliknya).[1]
Kotor yang bersifat maknawi ini diartikan sebagai dosa, sebagaimana hadist
riwayat Ibnu ‘Abbas r.a, Bahwa baginda Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sakit
akan menjadi pembersih (thahurun) dalam bagimu insyaAllah”. Dalam hadist
lain, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya sakit itu adalah pencuci
sebagian dosa”.
Thaharah, secara
istilah apabila dikaji menurut beberapa madzhab, madzhab Hanafi
misalnya, beliau mengartikan “thaharah” adalah bersih dari hadats atau khabas.
Bersih disini maksudnya mungkin sengaja dibersihkan atau juga bersih dengan
sendirinya, seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya hilang. Hadats
adalah suatu yang bersifat syar’i yang menempati pada sebagian atau seluruh
badan sehingga menghilangkan kesucian. Hadats disebut juga najasah hukmiyyah,
artinya sang pembuat syariat menghukumi jika seorang berhadats maka dia
dianggap memiliki najis dan dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana juga
dilarang ketika dia memiliki najis yang dzahir. Sedangkan khabats, secara
istilah adalah suatu jenis materi yang kotor dan menjijikkan yang diperintahkan
oleh pemilik syariat untuk dihilangkan dan dibersihkan.[2]
Menurut madzhab Maliki,
“thaharah” ialah sifat hukmiyyah yang orang memilikinya dibolehkan shalat
dengan pakaian yang dipakainya dan tempat yang dia pakai untuk shalat. Sifat
hukmiyyah berarti sifat yang bersifat maknawi yang ditentukan oleh sang pemilik
hukum sebagai syarat sahnya shalat.[3]
Dari pemikiran madzhab ini menurut Mahmud Syalthut, bahwa thaharah
merupakan sesuatu yang bersifat bathiniy, yang lebih bersifat perkiraan
(Dzaniniyyah), bukan sesuatu yang dapat dirasakan oleh indera (hissiy).[4]
Madzhab Syafi’i,
thaharah digunakan untuk dua makna. Pertama; mengerjakan sesuatu yang dengannya
diperbolehkan shalat, seperti wudhu, tayammum dan menghilangkan najis, atau
mengerjakan sesuatu yang semakna dengan wudhu dan tayamum, seperti wudhu ketika
masih keadaan berwudhu, tayamum sunnah dan mandi sunnah. Singkatnya, thaharah
adalah nama untuk perbuatan seseorang. Kedua; thaharah berarti juga suci dari
semua najis.[5]
Mahmud menambahkannya dengan hadast,[6]
hadast dapat dihilangkan dengan wudhu dan mandi besar apabila menanggung hadast
besar. Adapun najis dapat hilang dengan mencucinya. Inilah yang menjadi tujuan
dari Thaharah. Sehingga apabila diucabkan, pengertiannya adalah hilangnya najis
dan hadast sekaligus.
Menurut Al Hanabillah,
Thaharah menurut syara’ ialah hilangnya hadast atau yang semisalnya serta
hilangnya najis atau huku hadast dan najis itu sendiri. Adapun hilangnya hadast
berarti hilangnya sifat yang menghalangi sholat dan yang searti dengannya.
B.
Alat-Alat
Yang Digunakan Untuk Thaharah
Bersuci tidak sah
hukumnya menggunakan selain air, demikian itu menurut pendapat mayoritas
ulama’. Meskipun ada ulama’ yang menyatakan bahwa api dan matahari itu dapat
menghilangkan najis. Seperti pendapat imam Hanafi, menurutnya jika ada
kulit bangkai menjadi kering oleh sinar matahari, maka hukumnya suci meski
tidak disamak. Demikian pula jika diatas tanah terdapat najis, kemudian kering
oleh sinar matahari, maka tempat itu menjadi suci dan dapat dipergunakan untuk
sholat.[7]
Namun tempat itu tidak dapat digunakan untuk bertayamum. Selain itu, tanah,
debu, dan batu juga dapat digunakan untuk bersuci, tetapi dengan batasan
tertentu.
C.
Macam-macam
Air
Para
ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya
untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab
fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam,
yaitu : air mutlaq, air musta’mal,
air yang tercampur benda yang suci,
dan air yang
tercampur dengan benda yang najis.
1. Air
Mutlaq
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses
apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak
tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah
untuk digunakan bersuci, yaitu untuk
berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاهر لنفسه مطهر لغيره.
Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang
suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh
digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya. Namun
belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu` atau
mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang
mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya. Diantara air-air yang termasuk
dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah: Air
hujan, air laut, air sungai, air sumur, air embun, air sumber, air es/salju.
Dan yang menjadi perbedaan hukum diantara para imam madzhab adalah megenai Air
Zam-zam.
·
Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab
Asy-Syafi'iyah.
Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam
Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats,
yaitu berwudhu atau mandi janabah. Namun kurang disukai (karahah) kalau
digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang
sangat mulia, sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn
najis dengan air zamzam.
·
Mazhab Al-Malikiyah. Mazhab Al-Malikiyah secara resmi
tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats
atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah.
Dalam pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik untuk
wudhu, mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada
badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air
zam-zam.
·
Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah
satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah
(kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik untuk
mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk membersihkan najis.
Pendapat ini didukung dengan dalil
atsar dari shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu :
لاَ أُحِلُّهَا لِمُغْتَسِلٍ يَغْتَسِلُ فيِ المَسْجِدِ وَهِيَ
لِشَارِبٍ أَوْ لمِتَُوَضِّىء حَلَّ وَ بَلَّ
Aku
tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid, namun air
zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu'
2. Air Musta’mal
Kata musta'mal berasal dari dasar
ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna
menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk
melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Air sisa bekas cuci
tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah,
statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak
disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu atau
mandi janabah.
Perbedaan pendapat apakah air musta’mal
itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah itu dipicu dari
perbedaan nash dari Rasulullah SAW . Beberapa nash hadits itu antara lain :
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ ض قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي
اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ. أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang
diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)[8]
وَلِلْبُخَارِيِّ:
لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لا يَجْرِي, ثُمَّ
يَغْتَسِلُ فِيهِ وَلِمُسْلِمٍ: "مِنْهُ".وَلأَبِي
دَاوُدَ: وَلاَ يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ .
”Janganlah sekali-kali seorang kamu
kencing di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalam air itu”. Riwayat
Muslim,”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di
dalam air itu.
(HR. Muslim)[9]
a. Ulama
Al-Hanafiyah
Menurut
mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh
saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum
musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Bagi
mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan.
Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu`
atau mandi. [10]
b. Ulama
Al-Malikiyah
Dan
sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta’mal
hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun
yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu
suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk
berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah
(kurang disukai). [11]
c. Ulama
Asy-Syafi`iyyah
Air
musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah
digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu
menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat
untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian
dari sunnah wudhu`. Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak
berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air
musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau
mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru
dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air
musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu`
atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak
mensucikan. [12]
d. Ulama
Al-Hanabilah
Air
musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk
bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk
menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan
untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain
itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila
air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesuatu yang di luar kerangka
ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti mencuci muka yang
bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak
ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu`. Dan selama air itu sedang digunakan
untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta’mal.
Hukum
musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu
untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk
wudhu` atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa
air itu musta’mal.
Mazhab
ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang
jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak
mengakibatkan air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta'mal
dan bukan (ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume
air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW
:
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ s إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ
Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW telah
bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung kotoran.
Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)[13]
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang
membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah
ukuran volume air. Istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa
Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di
Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah.
Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati. Para
ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang.
Dan ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.[14]
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari
270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air
yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta’mal. Air
itu suci secara fisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau
mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka
tidak dikategorikan air musta’mal.
3. Air
Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci
Air tercampur dengan barang suci atau barang yang
bukan najis hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun,
kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun
bila air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu
hukumnya suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski
air itu suci dan susu juga benda suci, tetapi campuran antara air dan susu
sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang
seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak
sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah. Meski pun masih tetap
suci.
Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
“Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu
dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus”. (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu
Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan
air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk
yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung,
ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
“Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah
ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung.” (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)
4. Air
Mutanajis
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur
dengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu
bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa
juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah
air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan
perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya
noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam
kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan
mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis
juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar
dan jumlah volume air yang kecil.
5. Air
Musakhkhan Musyammasy
Air musakhkhan (مسخن) artinya
adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas (مشمس) diambil dari
kata syams yang artinya matahari. Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah
air yang berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air
yang dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik, tidak termasuk ke
dalam pembahasan disini.
Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di
kalangan ulama.
a. Pendapat
Yang Membolehkan Mutlak
Pendapat ini mengatakan tidak ada
bedanya antara air yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya
sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada kemakruhan. Yang
berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah.
Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah seperti Ar-Ruyani dan
Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.[15]
b. Pendapat
Yang Memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan
air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya
adalah mazhab Al-Malikiyah dalam pendapat yang muktamad, sebagian ulama
di kalangan mazhab dan sebagian Al-Hanafiyah.
Pendapat yang kedua ini umumnya
mengacu kepada atsar dari shahabat Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu
anhu, yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar
matahari.
أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الإِغْتِسَالَ باِلمَاءِ المُشَمَّس
Bahwa beliau memakruhkan mandi
dengan menggunakan air musyammas (HR. Asy-Syafi'i)[16]
Larangan ini disinyalir berdasarkan
kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan
berdampak negatif kepada kesehatan, sebagaimana dikatakan oleh para
pendukungnya sebagai (يورث البرص), yakni
mengakibatkan penyakit belang.
لاَ تَفْعَليِ يَا حُمَيْرَاء فَإِنَّهَا يُوْرِثُ البَرَص
Jangan
lakukan itu wahai Humaira' karena dia akan membawa penyakit belang. (HR. Ad-Daruquthuny)[17]
Kemakruhan yang mereka kemukakan
sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan, bukan pada wilayah syariah.
Namun mereka yang mendukung pendapat ini, seperti Ad-Dardir menyatakan air musyammas
musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah, manakala
dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi
Arabia). Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di
Mesir atau Rum, hukum makruhnya tidak berlaku.[18]
6. Air
Musakhkhan Ghairu Musyammasy
Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi
panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung. Al-Malikiyah
dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk
digunakan wudhu atau mandi janabah, lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan. Bahkan
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi
panas lantaran panasnya benda najis, tetap saja air itu boleh digunakan untuk
berthaharah.
Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit
untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air
secara benar-benar (isbagh), hukumnya menjadi makruh, bukan karena
panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.[19]
|
Hanafi
|
Maliki
|
Syafi’I
|
Hanbali
|
Air
Mutlaq
|
Suci mensucikan
|
Suci mensucikan
|
Suci mensucikan
|
Suci mensucikan
|
Air
musta’mal
|
Suci tidak mensucikan
|
Suci mensucikan
|
Suci tdak menscikan
|
Suci tidak mensucikan
|
Air
yang tercampur dgn barang yang suci
|
|
|
|
|
Air
Mutanajis
|
|
|
|
|
Air
Musakhkhan Musyammasy
|
Boleh
|
Makruh
|
Boleh
|
Boleh
|
Air
Musakhkhan Ghairu Musyammasy
|
|
Boleh
|
Boleh
|
|
D.
Najis
1. Khamr
Para
imam madzhab sepakat tentang najisnya khamr. Kecuali sebuah riwayat dari Abu
Dawud adz-Zhahiriy yang mengatakan kesuciannya tetapi mengharamkannya
untuk dikonsumsi. Mereka bersepakat apabila khamr berubah menjadi cuka dengan
sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Namun jika khamr berubah menjadi cuka
karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i, dan Hambali
adalah tidak suci.[20]
2. Anjing dan Babi
Syafi’i
dan Hambali memberi pendapat bahwa
anjing dan babi adalah najis. Sesuatiu yang terjilat oleh anjing harus dibasuh
tujuh kali. Menurut Hanafi Anjing adalah najis, tetapi bekas jilatannya
boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis lainnya. Jika dibasuh sekali sudah
diduga najisnya hilang, maka basuhannya sudah dicukupkan 1 kali tersebut. Namun
apabila diduga belum hilang najisnya, maka harus dibasuh berkali,kali, meskipun
20 kali lebih. Sedangkan menurut madzhab Maliki, anjing adalah suci dan
bekas jilatannya tidak najis .
Babi
disamakan dengan anjing kenajisannya,sehingga bekas jilatannya harus dibasuh
sampai tujuh kali. Hal ini menurut pendapat yang paling shahih dalam madzhab Asy-Syafi’i.
Imam Maliki berpendapat bahwa babi itu suci ketika masih hidup, karena tidak
ada dalil yang menajiskannya. jikalau Imam Hanafi Najis babi harus
dibasuh seperti najis-najis lainnya.
3. Air Kencing Bayi
Menurut
madzhab Syafi’i dan Hanafi mensucikan air kencing bayi laki-laki
yang belum makan sesuatu apapun keciali ASI, ialah cukup dengan memercikkannya
ketempat yang najis. Jika bayi perempuan maka harus dibasuh dan disiram. Maliki
keduanya harus di hapus dan hukum keduanya sama. Hambali berpendapat
bahwa air kencing perempuan yang masih bayi adalah suci.
4. Bangkai
a. Kulit
Menurut madzhab Hanafi Semua
kulit binatang dapat menjadi suci dengan disamak, kecuali kulit anjing dan
babi. Begitu halnya dengan madzhab Syafi’i , hanya saja keturunan dari
anjing dan babi atau salah satunya juga dihukumi sama dengan anjing dan babi. Maliki
kulit tidak menjadi suci, tetapi
dapat dipergunakan untuk sesuatu yang basah. Dalam madzhab hambali,
kulit tidak dapat suci dan tidak dapat dipergunakan apapun sebagaimana daging
bangkai.
Kulit binatang sembelihan tidak dapat
digunakan untuk apapun jika binatang tersebut tidak halal dimakan. Demikian
menurut Syafi’i dan Hambali. Menurut madzhab Maliki, Kulit
bangkai dapat dipergunakan kecuali kulit babi. Jika binatang buas atau anjing
disembelih, maka kulitnya suci, boleh diperjual belikan, menyimpan air wudhu,
meskipun tidak disamak. Sedangkan Hanafi semua bagiannya suci, tetapi dagingnya haram. Maliki
dagingnya makruh.
b. Rambut dan Bulu
Asy-Syafi’i,
Rambut dan bulu bangkai selain manusia adalah najis. Maliki: Bulu
termasuk bagian badan yang tak pernah mati. Oleh karenanya hukumnya suci secara
mutlak, baik itu dari binatang halal maupun tidak halal. Begitu halnya dengan Hambali
rambut dan bulu anjing dan babi adalah suci. Hanafi menambahkan bahwa tanduk, gigi dan tulang
adalah suci, karena tidak bernyawa. Pemanfaatan bulu babi untuk bantal, Hanafi
dan Maliki memberikan keringanan,
Syafi’i melarangnya. Madzhab Hambali memakruhkannya.
c. Setiap binatang yang darahnya tidak
mengalir.
Menurut Hanafi dan Maliki, Seperti lebah, semut, kumbang, dan
kalajengking, jika mati pada benda yang basah, maka benda itu tidak menjadi
najis karena binatang itu sendiri adalah suci. Syafi’i dan Hambali benda
itu tidak menjadi najis, tetapi binatang itu sendiri adalah najis.
d. Bangkai Belalang dan ikan
Menurut Ijma’, bahwa bangkai belalang
dan ikan adalah suci. Adapun tentang mayat manusia, menurut Maliki, Hambali,
dan Syafi’i tidak najis. Hanafi mayat itu najis tetapi dapat
disucikan dengan dimandikan.
5. Sisa Makanan dan Minuman Binatang
Hanafi,
Syafi’i dan Hambali sama-sama
berpendapat bahwa sisa makan dan minum anjing dan babi adalah najis, sedangkan
selain itu suci. Pendapat yang paling shahih dari Hambali sisa makan dan
minuman binatang buas adalah najis. Maliki berpendapat bahwa sisa makan
dan minum binatang itu adalah suci.
Menurut
tiga imam madzhab, Sisa makan dan minum baghal dan keledai adalah suci, tetapi
tidak menyucikan. Hanafi ragu, apakah ia dapat mensucikan. Pendapat yang
paling shahih dari Hambali, bahwa hal itu najis.
Sisa
air yang diminum oleh binatang yang najis, seperti anjing dan babi najis, dan sisa
air yang diminum oleh binatang yang suci tidak najis. Demikian ini menurut
pendapat kalangan Syi’ah.[21]
6. Najis Yang Dimaafkan
Syafi’i
mengatakan bahwa segala sesuatu yang najis, baik itu besar maupun kecil,
hukumnya sama dalam mensucikannya. Tidak ada yang dimaafkan kecuali sesuatu
yang sulit dihindari menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul,
darah kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu jalan. Maliki
juga berpendapat demikian, dengan menambahkan darah sedikit dimaafkan. Madzhab Hanafi,
sesuatu najis yang ukurannya lebih kecil dari mata uang satu dirham dimaafkan.
7. Benda yang Keluar dari perut
Benda
lunak yang keluar dari dubur adalah najis. Demkian yang diseakati oleh para
ulama’. Namun ada riwayat dari Hanafi, bahwa itu adalah suci.
Syafi’i
berpendapat bahwa air kencing dan tahi adalah najis
secara mutlak. Maliki dan Hambali, air kencing dan kotoran
binatang yang dapat dimakan dagingnya adalah suci.
8. Air Mani
Menurut
Hanafi dan Maliki bahwa mani manusia adalah najis. Pendapat yang
paling shahih dari Syafi’i Air mani itu suci secara mutlak, kecuali mani
anjing dan babi. Sementara itu menurut Hambali mani yang suci hanya air
mani manusia.
Imamiyyah
dari kalangan Syi’ah menghubungkan mani itu najis, sedang nanah tidak
najis. Kencing manusia najis. Sisa minuman burung yang boleh dima- kan dan yang
tidak boleh dimakan suci. Minuman yang memabuk- kan najis (yang cair). Muntah tidak
najis. Mazi dan Wadi kedua-duanya tidak najis.[22]
|
Hanafi
|
Maliki
|
Syafi’I
|
Hanbali
|
Khamr
|
Najis
|
Najis
|
Najis
|
Najis
|
Anjing
dan Babi
|
Najis
|
Tidak
Najis
|
Najis
|
Najis
|
Air
Kening Bayi
|
Suci
bayi Lk
|
Najis
|
Suci
bayi Lk
|
Suci
bayi Pr
|
Bangkai
|
|
|
|
|
Sisa
Makanan Binatang
|
Kecuali
anjing dan babi suci
|
Suci
|
Kecuali
anjing dan babi suci
|
Kecuali
anjing dan babi suci
|
Najis
Yang Dimaafkan
|
Lebih
kecil dri 1 dirham
|
Sama
dalam mensucikan
|
Sama
dalam mensucikan
|
|
Benda
Yang Keluar Dari Perut
|
Suci
|
Binatang
halal suci
|
Najis
|
Binatang
halal suci
|
Air
Mani
|
Najis
|
Najis
|
Suci
|
Suci
|
E.
Wudhu
1. Rukun Wudhu
Madzhab
Hanafi; Rukun wudhu menurut madzhab ini hanya ada empat, yaitu yang
tertera dalam al-Qur’an:
a. Membasuh wajah. Batasan wajah adalah
tempat tumbuh rambut sampai ujung dagu. Dari segi lebar, ukuran muka yang harus
dibasuh ketika wudhu adalah dari pangkal telinga kiri sampai pangkal telinga kanan,
termasuk juga bawah telinga.
b. Membasuh kedua tangan dengan kedua
sikunya.
c. Mengusap seperempat kepala.
d. Membasuh kedua kaki dengan kedua mata
kaki nya.
Madzhab Maliki; Fardhu wudhu
menurut madzhab Maliki ada tujuh:[23]
a. Niat. Seorang yang berwudhu harus berniat
untuk membolehkan sholat, mengerjakan fardhu wudhu, atau menghilangkan hadats
kecil. Posisi niat berada ketika akan wudhu dan tidak wajib menghadirkan niat
sampai wudhu selesai. Jika seseorang membasuh anggota wudhu tanpa niat, maka
wudhunya bathal. Niat juga memiliki syarat sah, yaitu; yang berniat harus
beragama Islam, yang berwudhu mesti mumayyiz dan harus yakin serta pasti, tidak
boleh ragu.
b. Membasuh muka. Batasannya sama dengan
madzhab Hanafi
c. Membasuh kedua tangan dengan kedua siku.
Keharusan membasuh kedua tangan ini sama dengan pendapat madzhab Hanafi, seperti
wajib membasuh jari-jari dan bagian bawah kuku yang panjang.
d. Mengusap seluruh kepala. Batas kepala
adalah dari tempat tumbuh rambut di depan sampai tengkuk belakang. Termasuk
juga rambut cambang dan atas dua daun telinga serta belakangnya. Jika seseorang
memiliki rambut panjang atau pendek, maka haruslah diusap.
e. Membasuh kedua kali dengan kedua mata
kaki. Demikian juga belahan-belahan kaki wajib dibasuh. Jika anggota wajib
tidak ada, maka gugurlah kewajiban membasuh.
f. Muwalat.
g. Mengurut (mengulang-ulang secara rapi)
semua anggota wudhu. Seperti menyela-nyela rambut dan jari jemari.
Madzhab Syafi’i; Fardhu wudhu
menurut madzhab Syafii ada enam.[24]
a. Niat. Berbeda dengan madzhab Maliki,
madzhab Syafii mewajibkan niat harus dibarengi dengan basuhan pertama. Jika
seseorang membasuhnya tanpa niat, maka batal lah wudhu nya. Bagi orang yang
memiliki penyakit beser, maka baginya harus niat “untuk kebolehan shalat” atau
“untuk membaca mushaf” atau “melaksanakan fardhu wudhu”.
b. Membasuh wajah. Ukuran wajah hampir sama
dengan madzhab Hanafi di atas. Hanya saja madzhab Syafii mewajibkan untuk
membasuh kulit di bawah dagu.
c. Membasuh kedua tangan dengan sikunya.
Membersihkan kotoran-kotoran di bawah kuku yang menghalangi sampainya air ke
kulit adalah wajib. Kecuali bagi para pekerja yang tidak lepas dari kotoran
tersebut, selagi tidak terlalu banyak, maka ada kemudahan.
d. Mengusap bagian kecil dari kepala. Jika
di kepalanya terdapat rambut, maka cukup mengusap sebagian saja. Jika air
terpercik ke kepala atau dia mengguyur kepala tersebut sehingga basah, maka
dianggap cukup.
e. Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya.
f. Tartib (berurutan) antara empat anggota
tersebut sebagaimana tertera dalam al-Quran.
Madzhab Hanbali; Fardhu wudhu menurut
mereka ada enam.[25]
a. Niat bagi madzhab ini adalah syarat sah
wudhu, bukan fardu wudhu sebagaimana dikatakan ulama Maliki dan Syafii.
b. Membasuh wajah. Panjang dan lebar wajah
hampir sama dengan pendapat sebelumnya. Hanya saja cambang dan kulit putih di
bawah dua daun telinga hanya wajib diusap, karena keduanya adalah bagian dari kepala. Mereka juga berpendapat
bahwa bagian dalam mulut dan hidung mesti terkena air, karena keduanya bagian
dari wajah.
c. Membasuh kedua tangan dengan sikunya.
Pendapat madzhab ini tidak jauh berbeda dengan madzhab lainnya.
d. Mengusap seluruh kepala, termasuk juga
kedua telinga.
e. Membasuh kedua kaki dengan mata kakinya.
f. Tartib.
g. Muwalat. Dalam masalah ini, madzhab
Hanbali sepakat dengan pendapat madzhab Maliki. Madzhab Hanafi dan Syafii
menganggap muwalat hanya sunnah dan dimakruhkan jika meninggalkan muwalat.
|
Hanafi
|
Maliki
|
Syafi’I
|
Hanbali
|
Niat
|
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Membasuh Wajah
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Membasuh
Tangan
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Mengusap
Kepala
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Membasuh Kaki
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Tertib
|
|
|
Rukun
|
Rukun
|
Muwalat
|
|
Rukun
|
|
Rukun
|
Addalk
|
|
Rukun
|
|
|
2. Hal yang membatalkan Wudhu
a. Keluarnya sesuatu dari qubul dan dubur
dan Keluar Mani
Menurut al-Malikiyah keluar sesuatu yang tidak
lazim seperti batu, darah atau nanah tidak membatalkan wudhu’ jika sesuatu
tersebut terbentuk didalam usus (bukan karena menelan batu).
Keluar mani menurut pendapat yang shahih
dari Syafi’i tidak membatalkan wudhu, akan tetapi mewajibkan mandi.
Sedangkan Hanafi membatalkan wudhu.[26]
b. Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun di atas
bumi (tidak memungkinkan keluar sesuatu dari dubur).
Menurut al-Hanabalah tidur membatalkan wudhu’
secara mutlaq. Menurut al-Malikiyah tidur pulas dapat membatalkan wudhu’
baik tamakkun atau tidak, sementara tidur tidur ringan tidak membatalkan wudu’.
c.
Hilang Akal
Karena Mabuk, Tidur Atau Sakit
d. Menyentuh Kemaluan
Hanafi
berpendapat itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak, dengan menggunakan sisi
tangan manapun ia menyentuh. Syafi’i hal itu membatalkan wudhu jika
sentuhannya dengan telapak tangan bagian dalam serta tidak ada penghalang baik
disertai syahwat maupun tidak. Sedangkan bila sentuhannya dengan punggung
tangan, hal itu tidak membatalkan wudhu. Hambali tetap membatalkan wudhu baik sentuhannya
menggunakan tangan bagian dalam maupun bagian luar. Riwayat yang paling sahih
dari Maliki jika sentuhannya dengan disertai syahwat maka wudhunya batal,
jika tidak, maka tidak batal.[27]
Dalam riwayat lain, pendapat ini adalah
pendapat madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i -pendapat beliau
yang masyhur-, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan pula dari banyak sahabat.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Buroh binti Shofwan:
مَنْ مَسَّ
ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa
yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181,
An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)[28]
e. Bersentuhan kulit Laki-laki dan Perempuan
Para imam madzhab berbeda pendapat
tentang hukum laki-laki menyentuh perempuan. Syafi’i hal itu membatalkan
wudhu dalam keadaan apapun jika tidak ada penghalang. Kecuali yang disentuh itu
adalah muhrim. Maliki dan Hambali jika persentuhan itu disertai
syahwat, maka wudhunya batal, jika tidak, tidak batal. Menurut Hanafi hal
itu tidak membatalkan wudhu, kecuali jika menegangkan dzakar, baik tegang
dengan sendirinya maupun dengan kesengajaan.
f. Keluarnya Sesuatu dari badan, seperti darah, nanah dan
semacamnya, akibat luka atau lainnya.
No
|
Hal
yang Membatalkan Wudhu
|
Hanafi
|
Maliki
|
SyafiI
|
Hanbali
|
1.
|
Keluarnya seuatu lewat qubul dan dubur
|
Batal
|
Batal
jika kelar sesuatu yang lazim
|
Batal
|
Batal
|
2.
|
Tidur yang bukan dalam posisi Tamakkun
|
Batal
|
Batal
jika pulas
|
Batal
|
Batal
walau dalam tamakkun
|
3.
|
Hilang akal karena mabuk, tidur,atau
sakit
|
Batal
|
Batal
|
Batal
|
Batal
|
4.
|
Menyentuh kemaluan dengan telapak
tangan
|
Tidak
Batal
|
Batal
|
Batal
|
Batal
|
5.
|
Menyentuh kulit lawan jenis bukan
mahrom
|
Tidak Batal
|
Batal jika merasa lezat
|
Batal
|
Batal dengan syahwat
|
6.
|
Keluarnya sesuatu dari badan
|
Batal
|
Tidak Batal
|
Tidak Batal
|
Tidak Batal
|
3. Sunah-sunah Wudhu
Madzhab
Hanafi; Sunnah yang muakkad, menurut mereka adalah sama statusnya dengan
hukum wajib sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sunnah tersebut di antaranya
adalah sebagai berikut: [29]
a. membaca basmalah.
b. Membasuh kedua tangan sampai pergelangan
atau persendian tangan. Sebagian kalangan Hanafiyyah menganggap ini adalah
fardhu wudhu.
c. Berkumur-kumur dan menghirup air ke
dalam hidung kemudian mengeluarkannya kembali (istinsyaq).
d. Menyela-nyela jari jemari tangan dan
kaki.
e. Mengulang basuhan sebanyak tiga kali.
f. Mengusap seluruh kepala.
g. Mengusap kedua telinga,
h. Niat.
i.
Tartib.
j.
Muwalat.
k. Bersiwak. Baik dengan kayu khusus, atau
dengan jari jemarinya. Waktunya adalah ketika sedang berkumur-kumur.
l.
Memegang
wadah air denga tangan kanan ketika membasuh kedua kaki dan tangan kiri
menyela-nyela jari-jari kaki.
m. Selalu memulai basuhan pada ujung jari
tangan dan kaki.
n. Memulai basuhan kepala dari bagian
kepala depan.
o. Berurutan.
p. Sunguh-sungguh ketika berkumur dan
istinsyaq, kecuali bagi yang puasa.
q. Tidak berlebihan ketika dia yakin sudah
melakukan setiap basuhan tiga kali.
r.
Mengulang
basuhan kedua tangan dengan sikunya.
Madzhab
Maliki; Sunnah wudhu yang muakkadah (diberi pahala jika mengerjakan dan
tidak disiksa jika tidak melaksanakan) adalah sebagai berikut: [30]
a. Membasuh kedua tangan dengan kedua
persendiannya.
b. Berkumur.
c. Menghirup air ke hidung. Ini harus
dilakukan dengan tarikan nafas. Jika tidak, maka tidak mendapat pahala sunnah.
d. Mengeluarkan air dari hidung dengan
nafas.
e. Mengusap kedua telinga; dalam, luar dan
daun telinga.
f. Memakai air baru untuk mengusap kedua
teliga.
g. Tertib.
h. Mengusap kepala kembali jika setelah
usapan pertama, tangan masih basah.
i.
Menggerakan
cincin untuk memudahkan air masuk ke bawahnya.
Selain sunah-sunah
wudhu dalam madzhab Maliki terdapat juga istilah fadhail wudhu. Diantara
fadhail wudhu adalah sebagai bertikut;
a. berwudhu di tempat yang suci.
b. Mengefisienkan penggunaan air.
c. Mendahulukan anggota sebelah kanan
dibanding kiri.
d. Meletakan wadah yang terbuka di sebelah
kanan dan yang tertutup di sebelah kiri.
e. Memulai wudhu pada bagian yang secara
adat lebih awal, seperti wajah bagian atas dan ujung jari.
f. Basuhan kedua dan ketiga jika basuhan
pertama sudah menyeluruh.
g. Menyikat gigi sebelum wudhu walau dengan
kayu.
h. Membaca basmalah di awal dan tidak
berbicara ketika wudhu, kecuali diperlukan.
i.
Berurutan
antara yang sunnah dan yang fardhu.
Madzhab Syafi’i;
Sunnah wudhu menurut madzhab Syafii cukup banyak. Di antaranya:[31]
a. Membaca ta’awwudz.
b. Membaca basmalah.
c. Berniat dalam hati untuk mengerjakan
hal-hal yang disunnahkan dalam wudhu.
d. Melafalkan niat.
e. Membasuh dua telapak tangan sampai
pergelangan.
f. Mendahulukan membasuh kedua telapak tangan
di banding berkumur.
g. Berkumur.
h. Memasukan air ke dalam hidung.
i.
Meletakan
wadah air yang terbuka di sebelah kanan dan yang tertutup di sebelah kiri.
j.
Berdoa
ketika memulai berwudhu dan pada setiap anggota yang dibasuh.
k. Menggosok gigi.
l.
Berdoa
ketika menggosok gigi.
Madzhab Hanbali;
Sunnah wudhu menurut madzhab ini adalah sebagai berikut:
a. Menghadap kiblat.
b. Bersiwak ketika berkumur.
c. Membasuh kedua telapak tangan tiga kali.
d. Mendahulukan berkumur dan istinsyaq dari
pada membasuh wajah.
e. Bersungguh-sungguh dalam berkumur dan
istinsyaq.
f. Menggosok-gosok semua anggota.
g. Memperbanyak air ketika membasuh wajah.
h. Menyela-nyela jenggot yang tebal ketika
dibasuh.
i.
Menyela-nyela
jari-jari tangan dan kaki.
j.
Memperbaharui
air ketika mengusap telinga.
k. Mendahulukan anggota sebelah kanan
dibanding kiri.
l.
Basuhan
kedua dan ketiga, jika basuhan pertama telah sempurna.
m. Menyertakan niat dari awal sampai akhir.
n. Niat melaksanakan sunah wudhu ketika membasuh
dua telapak tangan.
o. Mengucapkan lafadz niat secara pelan
p. Mengucapkan doa setelah selesai wudhu.
|
Hanafi
|
Maliki
|
Syafi’i
|
Hanbali
|
Sunnah
Wudhu
|
18
|
9
|
9
|
16
|
F.
Mandi
Wajib
Macam-macam mandi wajib yang telah di
sepakati oleh para ulama’ ada 4 antara lain:
1. Junub
2. Haid
3. Nifas
4. Orang Islam yang meninggal dunia.
Hanbali:
Menambah satu hal lagi, yaitu: Ketika orang kafir memeluk agama Islam. Syafi’i
dan Imamiyah: Kalau orang kafir itu masuk Islam dalam keadaan junub, maka ia
wajib mandi karena junubnya, bukan Islamnya. Dari itu, kalau ada waktu masuk
Islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak mewajibkan mandi.
Hanafi dalam
keterangan yang lain: Ia tidak mewajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu
Qudamah, Al- Mughni, jilid I, hal. 207).
Mandi Junub Junub
mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu: [32]
1. Keluar mani,
Baik
dalam keadaan tidur maupun bangun. Imamiyah dan Syafi’i; Kalau
mani itu keluar maka ia wajib mandi, tidak ada bedanya, baik karena syahwat
maupun tidak. Hanafi, Maliki dan Hanbali: Tidak mewajibkan
mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu
keluar karena dipukul, dingin, atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia
tidak di wajibkan mandi.
2. Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh)
Yaitu
memasukan kepala zakar atau sebagian dari hasyafah (kepala zakar) ke dalam
faraj (kemaluan) atau anus, maka semua ulama madzhab sepakat dengan mewajibkan
mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang
beberapa syarat; apakah kalau tidak dimasukan, yakni sekedar saling sentuhan
antara dua kemaluan itu, diwajibkan mandi atau tidak?
Hanafi:
Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu: Pertama, baligh. Kalau yang
baliqh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau
sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baliqh saja, dan kalau keduanya
sama- sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan mandi. Kedua, harus tidak ada
batas (aling-aling) yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang
yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukan zakarnya
kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal,maka ia tidak diwajibkan
mandi.
Imamiyah
dan Syafi’i: Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk
atau sebagiannya saja juga belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya
mandi, tak ada bedanya baik baliqh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang
disetubuhi ada batas (aling- aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena
suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada
binatang maupun pada manusia.
Hanbali
dan Maliki: Baik yang menyeetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib,
kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada
bedanya baik pada binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih
hidup maupun yang sudah meninggal.
Rukun
Mandi menurut beberapa ulama’ antara lain:
Hanafi;
rukun mandi ada tiga:[33]
1.
Berkumur,
2.
Istinsyaq
dan
3.
Membasuh
seluruh anggota badan dengan air.
Maliki:
rukun mandi ada lima;
1. Niat,
2. Meratakan air ke seluruh badan,
3. Mengosok- gosok semua bagian badan
sambil menyiramkan air,
4. Muwalat dan
5. Menyela-nyela seluruh rambut badannya
dengan air.
Syafii;
rukun mandi ada dua:
1. Niat dan,
2. Meratakan seluruh badan dengan air.
Hanbali;
rukun mandi hanya satu, yaitu meratakan air ke seluruh badan. Mulut dan hidung
juga bagian dari badan, maka harus dibasuh dari dalam
G.
Tayamum
1. Pengertian Tayamum
Menurut bahasa tayamum adalah
menyengaja. Sebagaimana firman allah :
ولاتيممواالخبيث منه تنفقون (البقرة :267)
“Dan
jangalah kamu bermaksud sengaja ( memilih )yang buruk lalu kamu menafkahkan
dari padanya (Qs. Al-baqarah 267).
Sedangkan
menurut istilah tayamum adalah menyengaja menggunakan tanah untuk mengusap
wajah dan kedua tangan dengan niat supaya diperbolehkannya shalat dan ibadah
yang lain. Pengertian lain mengenai tayamum secara istilah adalah mengusap muka
dan kedua tangan dengan menggunakan debu yang mensucikan menurut cara yang
khusus.
2.
Dasar
diberlakukannya tayamum
Pensyari’atan tayamum itu terdapat
dalam al-qur’an hadits dan ijma’. Adapun ketetapan yang terdapat dalam
al-qur’an adalah firman allah:
وإن كنتم مرضى أوعلى سفر أوجاء أحد
منكم من الغا ئط اولامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فمسحوا بوجوهكم
وأيديكم منه. ما يريدالله ليجعل عليكم من حرج
(المائدة : 6)
“Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air besar atau menyentuh perempuan
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih, suci); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu.” (Q.S Al-maidah 5:6)
3.
Sebab
diperbolehkannya tayamum
Setiap sesuatu perkara ataupun
kejadian itu pasti mempunyai sebab, dalam islam namanya hukum wadz’i atau bisa
disebut hukum sebab akibat. Begitupula dengan tayamum, tayamum disyari’atkan
mempunyai beberapa sebab diantaranya adalah:
a.
Apabila
tidak ada air
Apabila
tidak ada air untuk bersuci. Dalam artian tidak mendapatkan air sama sekali,
atau ada air akan tetapi tidak mencukupi untuk dibuat bersuci.
Menurut
golongan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apabila ia mendapatkan air yang
tidak cukup dipakai bersuci maka ia wajib menggunakan sekedarnya untuk sebagian
anggota wudhu’kemudian hendaknya bertayamum untuk anggota yang lainnya.
Menurut madzhab
Hanafi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat( tidak sakit
), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak boleh pula shalat kalau tidak ada
air. Madzhab Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8, surat
Al-Maidah:
“......Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di
antara kamu dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan
(menyetubuhinya) , lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah......”
Menurut Malikiyah
mereka berkata bahwa seorang yang tidak mendapatkan air, yang bukan dalam
bepergian dan dalam keadaan sehat itu tidak boleh untuk melakukan shalat
kecuali shalat nafilah terkecuali apabila shalat nafilahnya itu mengikuti yang
fardhu. Berbeda halnya dengan orang musafir dan orang yang sakit.
b.
Tidak mampu
menggunakan air
Tayamum diperbolehkan ketika tidak
mampu menggunakan air atau dalam keadaan membutuhkan air. Misalnya ia
mendapatkan air yang cukup untuk dipakai bersuci, akan tetapi ia tidak mampu
menggunakanya, ataupun ia mampu menggunakan air tersebutakan tetapi ia
membutuhkan untuk minum dan lain sebagainya.
c.
Ketika dalam
keadaan sempitnya waktu shalat
Ketika mampu menggunakan air untuk
wudhu’ ataupun mandi akan tetapi takut jika waktu shalat itu habis hanya untuk
mencari air.
d.
Ketika
adanya bahaya
Ketika ada air untuk wudhu’ dan
mandi akan tetapi dia takut terhadap sesuatu yang membahayakan harta dan
jiwanya. Ketika air sangat dingin dan dia menyangka adanya bahaya ketika
menggunakan air tersebut
4.
Debu yang
digunakan tayamum
Pada dasarnya imam madzhab sama
dalam menentukan alat tayamum yaitu tanah yang suci, akan tetapi dalam
menentukan sifat dan hakikat tanah yang suci “ash-shaid” , mereka berbeda pendapat. Dalil yang menunjukkan debu
yang digunakan untuk tayamum adalah firman allah surat An-Nisa’ ayat 42
......فتيمموا صعيدا طيبا.....
"…..bertayamumlah kalian semua dengan debu yang suci”
Syafi’iyah dan Hanabilah;
maksud dari “ash-shaid” adalah “at-turab” (tanah). Oleh karena itu , tidak
boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu.
Hanafiah dan Malikiyah;
“ash-shaid” adalah “al-ardh” (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan
tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan
pasir yang tidak berdebu.
Malikiyah menambahkan;
boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti
tumbuh-tumbuhan.
5.
Tata cara
tayamum
Pada dasarnya inti dari tayamum
adalah mengusap wajah dan tangan, akan tetapi dalam menentukan syarat rukunya
para imam madzhab berbeda pendapat. Seperti yang dikemukakan imam-imam berikut
ini :
Malikiyah : rukun
tayamum menurut mereka ada empat :
a.
Niat.
b.
Menepakan
tangan yang pertama.
c.
Meratakan
wajah dan kedua tangan dengan debu.
d.
Muwalat.
Hanabilah : mereka berpendapat bahwa rukun
tayamum adalah :
a.
Mengusap
mengusap seluruh bagian wajah selain yang ada di dalam mulut dan di dalam
telinga, dan selain di bawah rambut (jenggot) yang tipis.
b.
Mengusap
kedua tangan hingga di kedua pergelangan.
c.
Tertib.
d.
Muwalat
untuk tayamum yang disebabkan karena hadats kecil.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa tayamum
itu ada tujuh yaitu :
a.
Niat
b.
Mengusap
wajah
c.
Mengusap
kedua tangan sampai kedua siku
d.
Tertib
e.
Memindahkan
debu pada anggota tubuh
f.
Tanah yang
mensucikan dan berdebu
g.
Sengaja
memindahkan debu tersebut pada anggota tayamum
Hanafiah : mereka berpendapat rukun tayamum
itu ada dua yaitu :
a.
Mengusap
b.
Dua kali
menepak pada debu
Niat dan ini didalam tayamum
mempunyai cara khusus yang dapat dirinci menurut pendapat berbagai madzhab. Hanafiyah
dan Hanabilah: mereka berkata bahwa niat merupakan syarat didalam tayamum
bukan sebagai rukun. Malikiyah: jika ia berniat
untuk menghilangkan hadats saja, maka tayamum itu batal, karena tayamum menurut
mereka tidak dapat menghilangkan hadats.
Hanafiyah: mereka
berkata bahwa niat tayamum yang sah digunakan untuk shalat itu disyaratkan
hendaknya orang tersebut berniat dengan salah satu dari tiga hal berikut:
a.
Berniat
untuk bersuci dari hadats yang ia lakukan.
b.
Berniat agar
diperbolehkannya shalat.
c.
Berniat
untuk melakukan suatu ibadah maqshudah (ibadah yang sengaja diperintahkan)
Syafi’iyah berpendapat
bahwa seorang yang bertayamum wajib berniat agar boleh melaksanakan shalat dan
yang semacamnya. Imam Syafi’i merinci tentang niat tayamum sebagai berikut
:
a.
Apabila
berniat untuk melakukan ibadah fardhu, maka tayamum tersebut juga bias untuk
ibadah nafilah dan sunah.
b.
Apabila
berniat untuk melakukan ibadah nafilah, maka tayamum tersebut tidak bias
digunakan untuk ibadah fardhu.
6.
Ibadah-ibadah
yang diperbolehkan menggunakan tayamum
Pada pembahasan ini, ulama’ berbeda
pendapat tentang penggunaan tayamum untuk shalat. Menurut pendapat Malikiyah
yang masyhur, satu kali tayamum berlaku untuk dua kali shalat fardhu.
Menurut Abu Hanifah boleh menjamak beberapa shalat wajib dengan satu
kali tayamum. Menurut imam Syafi’i, Malliki,
dan Hambali: tidak boleh mengerjakan dua shalat fardhu dengan satu tayamum,
baik bagi orang yang musafir ataupun yang mukim. Hukum tayamum sama dengan
hukum wudhu’, yaitu bisa menjadikan sahnya melakukan ibadah dengan tayamum,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " أن الصعيد
طهور مسلم, وإن لم يجد الما، عشر سنين, فإذا وجد الماء فليمسه بشرته فإن ذالك
خير" رواه أحمد و الترمذي
- Beberapa hal yang membatalkan tayamum
Para fuqaha’
bersepakat bahwa hal yang membatalkan tayamum adalah sebagai berikut :
a.
Perkara yang
membatalkan wudhu’.
b.
Menemukan
air diluar waktu shalat.
c.
Murtad.
(mauquf)
Madzhab hanabilah
menambahkan perkara yang membatalkan tayamum, yaitu keluarnya waktu shalat. Madzhab
syafi’iyah berpendapat mengenai hal yang membatalkan tayamum yaitu :
a.
Terjadinya
riddah (keluar agama Islam), walaupun dalam bentuknya saja, seperti murtadnya
anak kecil (belum cukup usia).
b.
Hilangnya
udzur yang memperbolehkannya tayamum. Sebelum ia menyempurnakan takbiratul
ihramnya.
Rukun tayamum
|
Hanafi
|
Maliki
|
Syafi’I
|
Hanbali
|
Niat
|
|
Rukun
|
Rukun
|
|
Mengusap
wajah
|
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Mengusap
tangan sampai siku
|
|
Rukun
|
Rukun
|
Rukun
|
Tertib
|
|
|
Rukun
|
Rukun
|
Memindahkan
debu pada anggota tubuh
|
|
|
Rukun
|
|
Tanah
yang mensucikan dan berdebu
|
|
|
Rukun
|
|
Sengaja
memindahkan debu pada anggota tayamum
|
|
|
Rukun
|
|
Muwlat
|
|
Rukun
|
|
Rukun
|
PENUTUP
Kesimpulan
Secara
umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang
kotor, baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh
indera), maupun maknawi (sebaliknya). Kotor yang bersifat maknawi ini
diartikan sebagai dosa, sebagaimana hadist riwayat Ibnu ‘Abbas r.a, Bahwa
baginda Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sakit akan menjadi pembersih (thahurun)
dalam bagimu insyaAllah”. Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya
sakit itu adalah pencuci sebagian dosa”. Banyak perbedaan para imam madzhab
dalam hal bersuci, semisal alat yang digunakan untuk bersuci, rukun wudhu,
rukun mandi wajib, rukun tayamum, dan beberapa hal yang membatalkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Atjeh,
Aboebakar. Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzhab. Jakarta: Islamic
Research Institute, 1977.
Hasbiyallah.
Perbandingan Madzhab. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama RI, Juli 2012.
Syalthut, Mahmud. Fiqih
Tujuh Madzhab. terj. Abdullah Zakkiy Al Kaaf. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Zaki
, Abdullah. Terjemahan Rahmah Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah. Bandung :
Hasyimi Press,2004.
[1] Mahmud Syalthut, Fiqih
Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakkiy Al Kaaf ( Bandung: Pustaka Setia, 2007),
31.
[2] Hasbiyallah, Perbandingan
Madzhab, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Juli
2012, 243
[3] Ibid., 245
[4] Mahmud Syaltut, Fiqih
Tujuh Madzhab, 32.
[5] Hasbiyallah, Perbandingan
Madzhab, 243
[6] Mahmud Syaltut, Fiqih
Tujuh Madzhab, 33
[7] Abdullah Zaki, TerjemahanRahmah
Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah, (Bandung : Hasyimi Press,2004), 14
[10] Kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan
seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir
58/1,61.
[11] As-Syahru
As-Shaghir jilid 37 halaman 1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi jilid 41
halaman 1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 31, Bidayatul Mujtahid jilid 1
halaman 26 dan sesudahnya
[16] Dalil ini bukan hadits Nabi SAW
melainkan atsar dari Umar bin Al-Khattab. Al-Imam Asy-Syafi'i menyebutkan
hadits ini dalam kitab Al-Umm jilid 1 halaman 3. Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam At-Talkhish jilid 1 halaman 22 menyebutkan bahwa sanad
periwayatan atsar ini sangat lemah.
[17] Hadits ini pun disinyalir oleh sebagian
muhaqqiq sebagai hadits yang lemah sekali dari segi periwayatannya.
[18] Asy-Syarhush-shaghir
1 16 dan Hasyiyatu Ad-Dasuqi 1 44
[20] Ibid., 16
[21] Aboebakar Atjeh, Ilmu
Fiqih Islam Dalam Lima Madzhab, (Jakarta: Islamic Research Institute,
1977), 67
[22] Ibid., 67
[23] Ibid., 244
[24] Ibid., 245
[25] Ibid., 246
[26] Abdullah Zaki, TerjemahanRahmah
Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah, 22
[27] Abdullah Zaki, TerjemahanRahmah
Al Ummah fi Ikhtilaf Al aimmah, 23
[28] Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?,http//rumaysho.com, Diakses pada tangal 27 oktober 2014.
[29] Ibid., 247
[30] Ibid., 249
[31] Ibid.,249
[32] Hasbiyallah, Perbandingan
Madzhab, 264
[33] Hasbiyallah, Perbandingan
Madzhab, 267